EKOLOGI TUMBUHAN
EKOSISTEM SAWAH BERTINGKAT
DESA SITAKUAK
KEC. SUNGAI TARAB
KABUPATEN TANAH DATAR
DISUSUN OLEH :
*Wilda Rahayu* Diah Wati*
Aniqotullaili* Novera Arianda*
*Jusnawati* *Putrianti* Mirna Wati*
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2014
KATA PENGANTAR
Ucapan puji syukur penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT, karena lipahan rahmat karunia dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan laporan penelitian ini dengan judul Ekosistem Sawah Bertingkat Kabupaten Tanah Datar Kecamatan Sungai Tarab
Sumatera Barat.
Shalawat serta salam penulis hadiahkan
kepada Nabi Muhammad SAW karena telah membawa umat manusia dari alam kebodohan
menuju alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada bapak Dr. H. Elfis M.si yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan penulisan makalah ini dan semua pihak yang telah membantu, baik
secara materil dan spiritual.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dalam penulisan
maupun isi dari laporan ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.
Pekanbaru,
29 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………… i
DAFTAR ISI………………………………………………………….. ii
BAB
I
1.1 Konsep Ekosistem Sawah…………………………......................... 1
1.2 Faktor Klimatologis dan Edaphis Ekosistem Sawah……………… 4
1.2.1 Faktor Klimatologis
Ekosistem Sawah……………………... 4
1.2.2 Faktor Edaphis
Ekosistem Sawah…………………………… 8
BAB
II
2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Ekosistem Sawah
Kabupaten
Tanah
Datar………………………………………………………. 11
2.2 Biodiversitas Ekosistem Sawah Desa Sitakuak
Kecamatan
Sitakuak Kabupaten Tanah Datar………………............................. 13
2.2.1
Tanaman yang ditemukan di Sawah……………………….... 13
2.2.2
Hewan yang ada di Sawah…………………………………... 18
2.3 Komponen Ekosistem Sawah………………………..……………. 23
2.3.1
Komponen Abiotik…………..……………………………… 23
2.3.2
Komponen Biotik…………………………………………… 36
BAB
III
3.1 Pola Interaksi Biotik pada Ekosistem Sawah…………………….. 38
3.1.1
Interaksi Antar Organisme……………………….………… 38
3.1.2
Interaksi Antar Populasi………………………………..… 39
3.1.3
Interaksi Antar Komunitas………………………………… 41
3.2 Pola Interaksi Pada Ekosistem Sawah……………………....…… 43
3.2.1 Pola
Rantai Makanan……………………….……………… 43
3.2.2 Pola
Jaring-jaring Makanan…………………………….... .. 4 4
3.3 Piramida Ekologi Ekosistem Sawah…………………………… .. 45
3.3.1
Piramida Jumlah……………………………..…………… . 46
3.3.2
Piramida Biomassa……………………………………….. . 47
3.3.3
Piramida Energi…………………………………………… 48
3.4 Aliran Energi dan Siklus Materi………………………………… 49
3.4.1
Aliran Energi……………………………………….……… 49
3.4.2
Siklus Materi………………………………………………. 53
BAB
IV
4.1 Perubahan Ekosistem / Suksesi………..………………..….. 59
4.1.1
Faktor Alamiah………………………………………. 63
4.1.2
Faktor Manusia………………………………………. 63
4.2 Perubahan Terhadap Lahan Pertanian……………………… 65
4.3 Penanggulangan…………………………………….............. 67
BAB
V
5.1Kesimpulan…………………………………………………… 75
5.2 Saran…………………………..……………………………... 75
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………. 76
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Konsep
Ekosistem Sawah
Ekosistem adalah hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dan lingkungannya. Hubungan saling mempengaruhi antara makhluk hidup dengan
lingkungannya membentuk suatu sistem disebut Ekosistem. Ekosistem dikatakan seimbang
apabila komposisi di antara komponen-komponen tersebut dalam keadaan seimbang. Ekosistem yang seimbang,
keberadaannya dapat bertahan lama atau kesinambungannya dapat terpelihara.
Perubahan ekosistem dapat mempengaruhi
keseimbangannya. Perubahan ekosistem dapat terjadi secara alami serta dapat pula karena aktivitas dan
tindakan manusia (Wikipedia,
2013).
Ekosistem adalah
suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan
kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang
saling mempengaruhi (Agnez Anitha, 2009). Suatu ekosistem
pada dasarnya merupakan suatu sistem ekologi tempat berlangsungnya sistem
pemrosesan energi dan perputaran materi oleh komponen-komponen ekosistem dalam
waktu tertentu. Unsur-unsur ekosistem terdiri dari komponen abiotik yang
terdiri dari habitat seperti tanah, air, udara, cahaya matahari, iklim, materi
organik dan anorganik hasil dekomposisi makhluk hidup dan komponen biotik yang
terdiri dari semua unsur makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan, dan mikrobiota
yang tersusun dari unsur autotrof sebagai produsen (tumbuhan hijau), unsur
heterotrof sebagai konsumen dan dekomposer (Elfis, 2010a).
Lebih lanjut Elfis (2010a)
menyatakan bahwa ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa
dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap
unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem terbagi atas tiga
tipe ekosistem, yaitu ekosistem air, ekosistem darat, dan ekosistem buatan.
Salah satu contoh ekosistem buatan adalah ekosistem sawah.
Sawah adalah
pertanian yang dilaksanakan di tanah yang basah atau dengan pengairan. Bersawah
merupakan cara bertani yang lebih baik daripada cara yang lain, bahkan
merupakan cara yang sempurna karena tanah dipersiapkan lebih dahulu, yaitu
dengan dibajak, diairi secara teratur, dan dipupuk (Rustiadi, 2007).
Sawah bukaan baru
dapat berasal dari lahan kering yang digenangi atau lahan basah yang dijadikan
sawah. Hara N, P, K, Ca, dan Mg merupakan pembatas pertumbuhan dan hasil padi
pada lahan sawah bukaan baru. Hara N, P dan K merupakan pembatas pertumbuhan dan
hasil padi pada ultisol (Widowati et al., 1997).
Lahan untuk sawah
bukaan baru umumnya mempunyai status kesuburan tanah yang rendah dan sangat
rendah. Tanah-tanah di daerah bahan induknya volkan tetapi umumnya volkan tua
dengan perkembangan lanjut, oleh sebab itu miskin hara, dengan kejenuhan basa
rendah bahkan sangat rendah. Kandungan bahan organik, hara N, P, K dan KTK
umumnya rendah (Suharta dan Sukardi, 1994).
Padi (Oryza sativa L) tumbuh baik di daerah
tropis maupun sub- tropis. Untuk padi sawah, ketersediaan air yang mampu
menggenangi lahan tempat penanaman sangat penting. Oleh karena air menggenang
terus- menerus maka tanah sawah harus memiliki kemampuan menahan air yang
tinggi, seperti tanah yang lempung. Untuk kebutuhan air tersebut, diperlukan
sumber mata air yang besar kemudian ditampung dalam bentuk waduk (danau). Dari
waduk inilah sewaktu- waktu air dapat dialirkan selama periode pertumbuhan padi
sawah (Suparyono dan Setyono, 1997).
Tanah yang baik
untuk areal persawahan ialah tanah yang memberikan kondisi tumbuh tanaman padi.
Kondisi yang baik untuk perumbuhan tanaman padi sangat ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu posisi topografi yang berkaitan dengan kondisi hidrologi,
porositas tanah yang rendah dan tingkat kemasaman tanah yang netral, sumber air
alam, serta kanopinas modifikasi sistem alam oleh kegiatan manusia (Hanafiah, 2005).
Watanabe dalam Litbang Deptan (2010), menyatakan
bahwa sawah adalah suatu ekosistem buatan dan suatu jenis habitat khusus yang mengalami
kondisi kering dan basah tergantung ketersediaan air. Karakteristik ekosistem
sawah ditentukan oleh penggenangan, tanaman padi, dan tanaman budidaya lainnya.
Sawah tergenang biasanya merupakan lingkungan air sementara yang dipengaruhi
oleh keanekaragaman sinar matahari, suhum pH, konsentrasi O2, dan
unsur hara.
Menurut Aryulina dkk
(2007), sawah merupakan ekosistem yang dibentuk secara sengaja oleh manusia
untuk memenuhi kebutuhannya. Ekosistem buatan mendapatkan subsidi energi dari
luar, tanaman, atau hewan peliharaan yang didominasi karena pengaruh manusia,
dan memiliki keanekargaman yang rendah.
Penyiapan tanah
sawah menyebabkan sifat-sifat fisik, kimia, biologi dan morfologi tanah
berubah, keadaan tanah alami berubah menjadi keadaan tanah buatan dan
menyimpang dari keadaan yang dikehendaki oleh pertanaman yang lain. Untuk dapat
melaksanakan pergiliran tanaman dengan pertanaman lain, biasanya palawija, maka
sehabis pertanaman padi, keadaan tanah harus diubah kembali sehingga sesuai
dengan yang diperlukan pertanaman palawija. Pengubahan keadaan tanah secara
bolak-balik berarti memanipulasi sumber daya tanah secara mendalam, guna tanah,
tata guna air, dan tata guna lingkungan, sehingga dapat menghambat pencapaian
kemaslahatan penggunaan lahan yang berkelanjutan (Notohadiprawiro, 2006).
Selanjutnya
Notohadiprawiro (2006), menyatakan bahwa keanekaragaman hayati pertanian
Indonesia sangat besar. Hal ini memberikan peluang besar memilih macam tanaman
yang sesuai untuk tiap wilayah ekologi yang ada di Indonesia. Dengan demikian
pertanian Indonesia kalau dapat dikembangkan secara merata berpotensi besar
menjadi piranti handal dalam tata guna lahan. Di wilayah Indonesia manapun
pertanian dapat dibangun dengan konsep agroekosistem karena didukung oleh keanekaan
hayati pertanian Indonesia yang sangat besar. Konsep agroekosistem membuat
pertanian suatu sistem produksi biomassa berguna yang efektif secara teknologi,
efisien secara ekonomi, dan berkelanjutan menurut wawasan lingkungan.
1.1
Faktor Klimatologis dan Edaphis Ekosistem Sawah
1.1.1
Faktor Klimatologis Ekosistem Sawah
Klimatologi adalah ilmu
yang mempelajari atau menyelidiki tentang iklim. Yang dimaksud dengan iklim
adalah keadaan cuaca pada suatu daerah tertentu pada jangka waktu yang panjang.
Sedangkan cuaca adalah keadaan atmosfer pada suatu waktu (Wikipedia, 2013).
Menurut Elfis (2010) salah satu faktor penting yang
mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan adalah iklim.
Unsur-unsur iklim seperti temperatur, curah hujan, kelembapan, dan tekanan uap
air berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon. Hubungan iklim dengan tumbuhan
sangat erat. Iklim berpengaruh terhadap berbagai proses fisiologi
(fotosintesis, respirasi, dan transpirasi), pertumbuhan dan reproduksi
(pembungaan, pembentukan buah dan biji) dan sebagainya. Hubungan tumbuhan
dengan faktor lingkungan iklim merupakan hubungan yang tidak terpisahkan dan
bersifat menyeluruh (holocoenotik).
Menurut
Elfis (2010) unsur-unsur klimatologis terdiri dari :
a.
Temperatur
Temperatur
merupakan komponen abiotik klimatologi pada suatu ekosistem tumbuhan. Suhu
dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang diukur dengan skala tertentu.
Suhu
merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Suhu berkolerasi positif dengan radiasi matahari. Tinggi
rendahnya suhu di sekitar tanaman ditentukan oleh radiasi matahari, kerapatan
tanaman, distribusi cahaya dalam tajuk tanaman, dan kandungan lengas tanah.
Suhu mempengaruhi beberapa proses fisiologis penting seperti membuka dan
menutup stomata, laju transpirasi, laju penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis,
dan respirasi.
b.
Curah hujan
Curah hujan adalah banyaknya air yang tersedia di
bumi. Kecukupan air disepanjang tahun atau musim tumbuh menyebabkan pembentukan
hutan-hutan. Curah hujan memberi peranan dan konstribusi, jika curah hujan
cukup maka hutan di daerah dengan iklim yang lebih tinggi masih dapat bertahan.
Di daerah yang hujannya turun pada musim panas dan di daerah lain yang periode
keringnya panjang disitu terbentuk rerumputan dengan selingan hutan-hutan pada
tempat-tempat yang tanahnya basah.
Besarnya
curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Intensitas
hujan menyatakan besarnya hujan yang jatuh dalam suatu waktu yang singkat,
setiap hari terdapat kejadian butir hujan, namun demikian terdapat korelasi
yang nyata antara intensitas hujan dengan ukuran medium butir-butir hujan yang
membagi butir-butir besar dan butir-butir kecil dalam kelompok yang volumenya
bervariasi (Arsyad, 2006).
c.
Angin
Angin
merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari satu tempat ke tempat lain
secara horizontal. Massa udara adalah dalam ukuran sangat besar yang mempunyai
sifat fisik (temperatur dan kelembapan) yang seragam dalam arah yang
horizontal. Kecepatan angin penting karena dapat menentukan besarnya kehilangan
air melalui proses evapotranpirasi dan mempengaruhi kejadian-kejadian hujan.
Untuk terjadinya hujan, diperlukan adanya gerakan udara lembab yang berlangsung
terus-menerus. Dalam hal ini, gerakan udara berfungsi sebagai penggerak
terjadinya gerakan udara lembab tersebut. Angin juga dapat merugikan ekosistem
yang ada. Di bebarapa daerah, angin merupakan faktor yang menentukan bagi
vegetasi. Kadang-kadang angin pada tanaman akan mengakibatkan layu, karena
tanaman tidak dapat mengimbangi jumlah air yang hilang dengan pengambilan air
dari dalam tanah.
d.
Kualitas cahaya matahari atau posisi panjang
gelombang
Cahaya
merupakan faktor lingkungan yang sangat penting sebagai sumber energi utama
bagi ekosistem. Berdasarkan hasil pengamatan di Kabupaten Tanah Datar Provinsi
Sumatera Barat memiliki intensitas cahaya yang cukup tinggi karena sinar
matahari yang datang tidak dihalangi dan juga terletak pada daerah pegungungan
yang memungkinkan sinar matahari tidak terhalangi oleh apapun.
Secara
fisika, radiasi matahari merupakan gelombang-gelombang elektromagnetik dengan
berbagai panjang gelombang. Umumnya tumbuhan beradaptasi untuk mengelola cahaya
dengan panjang gelombang antara 0,39-7,6 mikron. Pada ekosistem perairan cahaya
merah dan biru di serap oleh fitoplankton yang hidup di permukaan sehingga
cahaya hijau akan lewat atau dipenetrasikan ke lapisan paling bawah. Sinar
matahari mempengaruhi sistem secara global, karena sinar matahari menentukan
suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan
sebagai produsen untuk berfotosintesis. Radiasi matahari dalam suatu lingkungan
berasa dari dua sumber utama yaitu temperatur matahari yang tinggi dan radiasi
termal dari tanah, pohon, awan dan atmosfir. Beberapa tumbuhan memiliki
karakteristik yang dianggap sebagai adaptasinya dalam mereduksi kerusakan
akibat cahaya yang terlalu kuat.
e.
Lengas udara
Lengas
udara atau kelembapan adalah komponen abiotik yang memberikan kontribusi dan
peranan terhadap klimatologi suatu ekosistem tumbuhan. Adanya evaporasi dan
juga transpirasi adalah sebab adanya pemanfaatan lengas. Lengas sangat
tergantung pada suhu, curah hujan, dan angin.
Salah satu
fungsi kelembapan udara adalah sebagai lapisan pelindung permukaan bumi.
Kelembapan udara dapat menurunkan suhu dengan cara menyerap atau memantulkan,
sekurang-kurangnya setengah radiasi matahari gelombang pendek yang menuju
permukaan bumi. Ia juga membantu menahan kelurnya radiasi matahari gelombang
panjang dari permukaan bumi pada waktu siang hari dan malam hari.
Iklim adalah kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang. Iklim merupakan salah satu faktor (selain tanah) yang akan mempengaruhi
ditribusi tumbuhan. Wilayah
dengan kondisi iklim tertentu akan didominasi oleh spesies-spesies tumbuhan
tertentu, yakni spesies tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tersebut (Lakitan, 2002).
Menurut Daldjoeni (1986) antara
pola iklim dengan persebaran aneka jenis tanaman saling berhubungan, pengaruh
panas, kelembapan udara dan sinar matahari pada tanaman dan tanpa adanya
unsur-unsur iklim tersebut pertumbuhan akan terhenti meskipun ada juga tanaman
yang dapat menyesuaikan dirinya sehingga dalam periode yang lama dapat juga
bertahan hidup tanpa terpenuhi kebutuhan tersebut. Susunan tipe optimal atau
tanaman klimaks bergantung dari berbagai dari berbagai faktor yang mempengaruhi
:
a.
Faktor-faktor iklim
b.
Faktor-faktor edaphis, yakni faktor yang bertalian
dengan susunan tanah
c.
Faktor-faktor tofografis, yakni yang bertalian
dengan tempat tumbuhnya seperti lereng, letak, dan relief.
Adanya
ketergantungan antara tanaman dengan faktor lingkungannya, maka perlu diketahui
faktor-faktor yang berkaitan dengan syarat tumbuh tanaman. Faktor-faktor
tersebut dibagi menjadi 4 golongan, yaitu iklim, tanah, tofografi, dan air
(Indriyani: 6).
1.1.2 Faktor Edaphis Ekosistem Sawah
Edaphis adalah hutan yang terbentuk karena pengaruh tanah. Tanah
merupakan suatu benda alam yang tersusun dari padatan (bahan mineral dan bahan
organik), cairan dan gas, yang menempati permukaan daratan, menempati ruang,
dan dicirikan oleh salah satu atau keduanya (Wikipedia,2010).
Warna tanah adalah petunjuk untuk beberapa sifat tanah. Perbedaan
warna permukaan tanah dipengaruhi oleh perbedaan bahan kandungan organik,
misalnya; Warna gelap, memiliki
bahan organik yang tinggi. Warna abu-abu, menunjukkan tanah memiliki sistem drainase
buruk
(Wikipedia, 2013).
Menurut
Aryulina (2007), tanah merupakan hasil pelapukan batuan yang disebabkan oleh
iklim atau lumut dan pembusukan bahan organik.
Tanah
(bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian kerak bumi yang
tersusun dari mineral dan bahan organik. Tanah berasal dari pelapukan batuan
dengan batuan organisme, membentuk tubuh unik yang menutupi batuan. Proses
pembentukan tanah dikenal sebagai “pedagonesis” (Wikipedia, 2013).
Disimpulkan bahwa tanah merupakan
lapisan kulit bumi terluar yang tersusun dari bahan mineral dan bahan organik,
dipengaruhi oleh bahan induk, iklim, bentuk wilayah, dan mikoorganisme, serta
proses terjadinya memakan waktu yang lama. Unsur pembentuk tanah terdiri dari
mineral (45%), udara (25%), air (25%), dan bahan organik (5%).
Dari penampang lintang tanah, tampak
adanya lapisan-lapisan yang disebut horizon. Horizon A merupakan lapisan tanah
yang banyak mengandung bahan organik; horizon B dan C mengandung mineral;
horizon R mengandung bahan induk berupa batuan yang belum mengalami pelapukan.
Lapisan top-soil tanah merupakan lapisan tanah paling atas (horizon A),
sedangkan lapisan bawahnya sampai perbatasan dengan batuan induk disebut
sub-soil (horizon B dan C). Tanah yang mempunyai lapisan top-soil dalam sangat
baik bagi tanaman. (Yovita Hetty Indriani, 1993).
Tanah adalah lapisan terlapuk dari
kerak bumi dimana organisme dengan produk-produknya terbaur. Tanah terdiri dari
tiga komponen yang berlainan satu sama lain. Pertama, adalah materi bahan induk
yang terdiri dari subtrasum batuan geologik tubuh bumi di bawahnya. Kedua,
bahan organik mati dan yang masih hidup dari ragam populasi di dalam dan di atas
tanah. Ketiga, ialah pori-pori, ruang udara atau cairan di antara butir tanah
yang merupakan cairan di antara butir tanah yang merupakan larutan cair tanah
dan atmosfer tanah (Wirakusumah dalam Elfis, 2006).
Menurut Ensiklopedia (2012),
jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah:
a.
Tanah
humus
Tanah humus adalah tanah yang sangat subur,
terbentuk dari pelapukan daun dan batang pohon di hutan hujan tropis yang
lebat.
b.
Tanah
pasir
Tanah pasir adalah tanah yang bersifat kurang
baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan beku serta batuan sedimen yang
memiliki butir kasar dan berkerikil.
c.
Tanah
aluvial/tanah endapan
Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari
lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang
subur dan cocok untuk lahan pertanian.
d.
Tanah
podzolit
Tanah podzolit adalah tanah subur yang umumnya
berada di pegunungan dengan curah hujan yang tinggi dan bersuhu rendah/dingin.
e.
Tanah
vulkanik/tanah gunung berapi
Tanah vulkanik adalah tanah yang terbentuk
dari pelapukan materi letusan gunung berapi yang subur dan mengandung zat hara
yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung
berapi.
f.
Tanah
laterit
Tanah laterit adalah tanah tidak subur yang tadinya subur dan kaya akan
unsur hara, namun unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh air hujan
yang tinggi. Contoh: Kalimantan Barat dan Lampung.
g.
Tanah
mediteran/tanah kapur
Tanah mediteran adalah tanah yang sifatnya tidak subur yang terbentuk
dari pelapukan batuan yang berkapur. Contoh: Nusa Tenggara, Jawa Tengah, dan
Jawa timur.
h.
Tanah
gambut/tanah organosol
Tanah organosol
adalah tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil
bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contoh: rawa Kalimantan, Papua, dan Sumatera.
Berdasarkan
hasil observasi yang dilakukan, tanah yang terdapat pada daerah sawah adalah
jenis tanah vulkanik yang mengandung unsur hara yang tinggi. Apabila tanah
vulkanik diberi tambahan pupuk organik atau kotoran hewan maka kondisi tanah
akan menjadi lebih prima untuk pertanian, warnanya lebih gelap yang berasal
dari gunung berapi yang meletus dan sangat mudah menyerap air, sangat subur
untuk lahan pertanian.
BAB 2
EKOSISTEM SAWAH JALAN SITAKUAK –
DESA SITAKUAK KECAMATAN SUNGAI TARAB KABUPATEN TANAH DATAR
2.1
Gambaran
Umum Lokasi Penelitian Ekosistem Sawah Kabupaten Tanah Datar
Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu
kabupaten yang berada dalam
Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, dengan ibu kota
kabupaten Batusangkar 0°27′12″LU 100°35′38″BT.
Kabupaten ini merupakan kabupaten terkecil untuk luas wilayahnya, yaitu 133.600
Ha (1.336 km2), dengan jumlah penduduknya berdasarkan sensus pada tahun 2006
adalah 345.383 jiwa yang terbagi atas 14 kecamatan, 75 nagari, dan 395 jorong.
Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah agraris, lebih 70%
penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman
pangan, perkebunan, perikanan, maupun peternakan (Wikipedia, 2013).
Kabupaten Tanah
Datar merupakan Tujuh Kabupaten Terbaik di Indonesia dari 400 kabupaten yang
ada. Penghargaan ini diberikan pada tahun 2003 oleh Lembaga International
Partnership dan Kedutaan Inggris.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menobatkan Kabupaten
Tanah Datar sebagai satu dari empat daerah paling berprestasi dan berhasil
melaksanakan otonomi daerah.
Secara geografis wilayah Kabupaten
Tanah Datar terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Barat, yaitu pada
00º17" LS - 00º39" LS dan 100º19" BT – 100º51" BT.
Ketinggian rata-rata 400 sampai 1000 meter di atas permukaan laut.
Kabupaten Tanah
Datar terletak di antara dua gunung, yaitu Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Kondisi
topografi ini didominasi oleh daerah perbukitan, serta memiliki dua pertiga
bagian danau Singkarak.
Kondisi topografis Kabupaten Tanah
Datar adalah sebagai berikut:
a.
Wilayah Datar 0–3% dengan luas 6.189 Ha
atau 6.63% dari luar wilayah Kabupaten Tanah Datar
b.
Wilayah Berombak 3–8% dengan luas 3.594
Ha atau 2,67% dari luar wilayah Kabupaten Tanah Datar
c.
Wilayah Bergelombang 8-15% dengan luas
43.922 Ha atau 32.93% dari luas Kabupaten Tanah Datar
d.
Kemiringan di atas 15% dengan luas
wilayah 79.895 Ha atau 59.77% dari luas Kabupaten Tanah Datar
Secara
umum iklim di kawasan Kabupaten Tanah Datar adalah sedang dengan temperatur
antara 12 °C–25 °C dengan curah hujan rata-rata lebih dari 3.000 mm
per tahun. Hujan kebanyakan turun pada bulan September hingga bulan Februari. Curah hujan
yang cukup tinggi ini menyebabkan ketersediaan air cukup, sehingga memungkinkan
usaha pertanian secara luas dapat dikembangkan.
Kabupaten
Tanah Datar memiliki perbatasan dengan beberapa kabupaten/kota di Sumatera
Barat, yaitu:
Utara
|
Kabupaten Agam dan Kabupaten
Lima Puluh Kota
|
Selatan
|
Kota Sawah Lunto dan Kabupaten Solok
|
Barat
|
Kabupaten
Padang Pariaman
|
Timur
|
Kabupaten
Sijunjung
|
Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang kaya dengan sumber air. Selain Danau Singkarak, di Kabupaten Tanah Datar terdapat lebih dari 25 buah sungai.
2.2
Biodiversitas
Ekosistem Sawah Desa Sitakuak Kecamatan Sitakuak Kabupaten Tanah Datar
Menurut Aryulina (2007), biodiversitas (keanekaragaman hayati)
ditunjukkan dengan adanya variasi makhluk hidup yang meliputi bentuk,
penampilan, jumlah, serta ciri lainnya.
2.2.1 Tanaman yang ditemukan di sawah
a.
Padi (Oryza
sativa)
Padi termasuk dalam suku padi-padian atau poaceae. Terna semusim,
berakar serabut, batang sangat pendek,struktur serupa batang terbentuk dari
rangkaian pelepah daun yang saling menopang daun sempurna dengan pelepah tegak,
daun berbentuk lanset, warna hijau muda hingga hijau tua, berurat daun sejajar,
tertutupi oleh rambut yang pendek dan jarang, bagian bunga tersusun majemuk,
tipe malai bercabang, satuan bunga disebut floret yang terletak pada
satu spikelet yang duduk pada panikula, tipe buah bulir atau kariopsis yang
tidak dapat dibedakan mana buah dan bijinya, bentuk hampir bulat hingga
lonjong, ukuran 3mm hingga 15mm, tertutup oleh palea dan lemma yang dalam
bahasa sehari-hari disebut sekam, struktur dominan padi yang biasa dikonsuksi
yaitu jenis enduspermium.
Setiap bunga padi memiliki enam
kepala sari (anther) dan kepala putik (stigma) bercabang dua berbentuk sikat
botol.Kedua organ seksual ini umumnya siap bereproduksi dalam waktu yang
bersamaan.Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea dan lemma jika telah
masak. Dari segi reproduksi, padi merupakan tanaman berpenyerbukan sendiri,
karena 95% atau lebih serbuk sari membuahi sel telur tanaman yang sama. Setelah
pembuahan terjadi, zigot dan inti polar yang telah dibuahi segera membelah
diri. Zigot berkembang membentuk embrio dan inti polar menjadi endosperm. Pada
akhir perkembangan, sebagian besar bulir padi mengadung pati dibagian
endosperm. Bagi tanaman muda, pati dimanfaatkan sebagai sumber gizi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
petani setempat, di lahan sawah tersebut ditanami beberapa jenis padi unggul
seperti SPR, IR 66, dan Sitokan.
Kelapa (Cocos nucifera)
adalah anggota tunggal dalam marga Cocos dari suku aren-arenan atau Arecaceae. Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir
semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serbaguna,
terutama bagi masyarakat pesisir. Kelapa juga adalah sebutan untuk buah yang dihasilkan tumbuhan ini.
Pohon dengan batang tunggal atau kadang-kadang bercabang.
Akar serabut, tebal dan berkayu, berkerumun membentuk
bonggol, adaptif pada lahan berpasir pantai. Batang beruas-ruas namun bila
sudah tua tidak terlalu tampak, khas tipe monokotil dengan pembuluh menyebar
(tidak konsentrik), berkayu. Kayunya kurang baik digunakan untuk bangunan.
Daun merupakan daun tunggal dengan pertulangan menyirip, daun bertoreh sangat
dalam sehingga nampak seperti daun majemuk. Bunga tersusun majemuk pada rangkaian yang dilindungi oleh bractea; terdapat
bunga jantan dan betina, berumah satu, bunga betina terletak di pangkal
karangan, sedangkan bunga jantan di bagian yang jauh dari pangkal. Buah besar, diameter 10 cm sampai 20 cm atau bahkan lebih, berwarna kuning,
hijau, atau coklat; buah tersusun dari mesokarp
berupa serat yang berlignin, disebut sabut, melindungi bagian endokarp yang keras (disebut batok) dan
kedap air; endokarp melindungi biji yang hanya dilindungi oleh membran yang melekat pada sisi dalam
endokarp. Endospermium berupa cairan yang mengandung banyak enzim, dan fase padatannya mengendap pada dinding endokarp seiring dengan
semakin tuanya buah; embrio kecil dan baru membesar ketika buah siap untuk
berkecambah (disebut kentos).
Kelapa secara alami tumbuh di pantai dan pohonnya mencapai ketinggian 30 m. Ia berasal dari
pesisir Samudera
Hindia, namun kini
telah tersebar di seluruh daerah tropika. Tumbuhan ini dapat tumbuh hingga
ketinggian 1.000 m dari permukaan laut, namun seiring dengan meningkatnya
ketinggian, ia akan mengalami pelambatan pertumbuhan.
c.
Kiambang (Salvinia
molesta)
Kiambang (dari ki:
pohon, tumbuhan, dan ambang: mengapung) merupakan nama umum bagi paku air dari genus Salvinia. Tumbuhan ini biasa ditemukan mengapung di air
menggenang, seperti kolam, sawah dan danau, atau di sungai yang mengalir
tenang.
Kiambang memiliki dua tipe daun yang sangat berbeda. Daun yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping
agak melingkar, berklorofil sehingga berwarna hijau, dan
permukaannya ditutupi rambut berwarna putih agak transparan. Rambut-rambut ini
mencegah daun menjadi basah dan juga membantu kiambang mengapung. Daun tipe
kedua tumbuh di dalam air berbentuk sangat mirip akar, tidak berklorofil dan
berfungsi menangkap hara dari air seperti akar. Orang awam menganggap ini adalah akar kiambang. Kiambang sendiri
akarnya (dalam pengertian anatomi) tereduksi. Kiambang tidak
menghasilkan bunga karena masuk golongan paku-pakuan.
Sebagaimana paku air (misalnya semanggi air dan azolla) lainnya, kiambang juga bersifat heterospor, memiliki dua tipe spora: makrospora yang akan tumbuh menjadi protalus
betina dan mikrospora yang akan tumbuh menjadi protalus
jantan.
Paku air ini tidak memiliki nilai
ekonomi tinggi, kecuali sebagai sumber humus (karena tumbuhnya pesat dan orang
mengumpulkannya untuk dijadikan pupuk), kadang-kadang dipakai sebagai bagian
dari dekorasi dalam ruang, atau sebagai tanaman hias di kolam atau akuarium. Karena dapat tumbuh sangat rapat
hingga menutupi permukaan sungai atau danau, muncul pepatah Melayu "biduk berlalu, kiambang
bertaut", yang berarti setelah gangguan berlalu, keadaan akan kembali
seperti semula.
Genjer adalah spesies
tanaman berbunga air yang berasal dari Asia Tenggara.
Ini adalah tanaman kira-kira setinggi 50
cm tumbuh di rumpun.
Daun berbentuk segitiga dan batang berongga
yang gundul. Perbungaan
yang memiliki bentuk yang sangat khas, menghasilkan bunga kuning tiga kelopak
sekitar 1,5 cm. Buah
berbentuk bola. Meskipun bukan tanaman mengambang, bijinya terbawa oleh
arus.
Genjer tumbuh umumnya di mana pun ada tidak terlalu dalam air tawar stagnan, di
daerah berawa. Kadang-kadang
menyerang sawah di
mana ia dapat menjadi gulma. Sebagai
spesies invasif telah
menjadi hama di beberapa lahan basah di bagian lain dunia.
2.1.1 Hewan yang ada di sawah
a.
Walang Sangit
Walang sangit merupakan serangga hama tanaman padi. Setiap kali bertelur,
serangga betina dapat menghasilkan 100–200 butir telur. Telur-telur tersebut
diletakkan pada daun tanaman padi. Telur yang telah menetas akan menjadi nimfa
yang berwarna hijau dan berangsur-angsur menjadi coklat. Nimfa dan imago
menyerang buah padi yang sedang matang susu dengan cara menghisap cairan buah
sehingga menyebabkan buah menjadi hampa.
a.
Ulat bulu hitam (Dasychira Inclusa)
Ulat bulu yang ditemukan berasal dari genus dengan nama latin Dasychira
Inclusa. Jenis ulat Dasychira ini, tidak terlalu berbahaya bagi tanaman
karena akan segera menjadi kepompong.
a.
Keong Mas
(Pomacea canaliculata)
Keong
mas merusak tanaman dengan cara memarut jaringan tanaman dan memakannya,
menyebabkan adanya bibit yang hilang per tanaman. Waktu kritis untuk
mengendalikan serangan keong mas adalah pada saat 10 hari setelah tanam atau 21
hari setelah sebar benih (benih basah).
Bila
di sawah diketahui terdapat telur berwarna merah muda dan keong mas dengan
berbagai ukuran serta warna, perlu dilakukan pengaturan air, keong mas
menyenangi tempat-tempat yang digenangi air.
Jika
petani petani menanam dengan sistem tanam pindah maka pada 15 hari setelah
tanam pindah, perlu dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian (flash
flood = intermitten irrigation). Bila petani menanam dengan
sistem tabela (tanam benih secara langsung), selama 21 hari setelah sebar benih
sawah perlu dikeringkan kemudian digenangi secara bergantian.
Bila
diperlukan, aplikasi pestisida berbahan aktif niclos amida dan moluska botani
dapat dilakukan di sawah yang tergenang, di caren atau cekungan-cekungan yang
ada airnya tempat keong mas berkumpul.
a.
Burung gereja (Passer montanus)
Burung menyerang
tanaman pada fase masak susu sampai padi dipanen. Burung akan memakan langsung
bulir padi yang sedang menguning sehingga menyebabkan kehilangan hasil secara
langsung. Selain itu burung juga mengakibatkan patahnya malai padi.
Cara
pengendalian diantaranya adalah dengan menjaga lahan dengan menempatkan
orang-orangan sawah untuk mengusir burung, tanam serentak, jangan menanam dan
memanen diluar musim agar tidak dijadikan sebagai sumber makanan serta
kendalikan habitat/sarang burung.
a.
Tikus sawah
(Rattus argentiventer)
Tikus
merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan dan dapat menyebabkan kerusakan
besar apabila tikus menyerang pada saat primodia. Tikus akan memotong titik
tumbuh atau memotong pangkal batang untuk memakan bulir gabah.
Tikus
menyerang pada malam hari dan pada siang hari tikus bersembunyi di lubang pada
tanggul irigasi, pematang sawah, pekarangan, semak atau gulma.
Pengendalian
hama tikus dapat dilakukan secara terorganisir dalam skala luas oleh kelompok
tani dengan pengelolaan lahan sampai menjelang panen dengan cara gropyokan.
Pengendalian dengan menggunakan rodentisida Brodirat 0,005BB
yang berbahan aktif brodifakum 0,005 persen berupa umpan siap pakai yang
berguna untuk mengendalikan hama tikus sawah.
a. Ular
sawah ((Phyton reticularis)
Ular sawah
atau Sanca kembang ini mudah dikenali karena umumnya bertubuh besar. Keluarga
sanca (Pythonidae) relatif mudah dibedakan dari ular-ular lain dengan melihat
sisik-sisik dorsalnya yang lebih dari 45 deret, dan sisik-sisik ventralnya yang
lebih sempit dari lebar sisi bawah tubuhnya. Di Indonesia barat, ada lima
spesiesnya: tiga spesies bertubuh gendut pendek yakni kelompok ular peraca (Python curtus group: P. curtus, P.
brongersmai dan P. breitensteini) di Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung
Malaya.
Sanca kembang
memiliki pola lingkaran-lingkaran besar berbentuk jala (reticula, jala),
tersusun dari warna-warna hitam, kecoklatan, kuning dan putih di sepanjang sisi
dorsal tubuhnya. Satu garis hitam tipis berjalan di atas kepala dari moncong
hingga tengkuk, menyerupai garis tengah yang membagi dua kanan kiri kepala
secara simetris. Dan masing-masing satu garis hitam lain yang lebih tebal
berada di tiap sisi kepala, melewati mata ke belakang.
Ular sawah dapat
dijadikan indikator terhadap serangan tikus selain dari burung elang dan burung
hantu karena merupakan musuh alami tikus. Semakin banyak ular sawah yang ada di
suatu wilayah, maka dapat dikatakan bahwa di wilayah tersebut sedang terjadi
serangan tikus besar-besaran.
a.
Elang
Elang adalah
hewan berdarah panas, mempunyai sayap dan tubuh yang diselubungi bulu pelepah.
Sebagai burung, elang berkembang biak dengan cara bertelur yang mempunyai
cangkang keras di dalam sarang yang dibuatnya. Ia menjaga anaknya sampai mampu
terbang.
Elang merupakan hewan pemangsa. Makanan
utamanya hewan mamalia kecil seperti tikus, tupai, kadal, ikan, ayam, ular, juga jenis-jenis serangga tergantung ukuran tubuhnya. Terdapat
sebagian elang yang menangkap ikan sebagai makanan utama mereka.
Biasanya elang tersebut tinggal di wilayah perairan. Paruh elang tidak bergigi tetapi
melengkung dan kuat untuk mengoyak daging mangsanya. Burung ini juga mempunyai
sepasang kaki yang kuat dan kuku yang tajam dan melengkung untuk
mencengkeram mangsa serta daya penglihatan yang tajam untuk memburu mangsa dari
jarak jauh tak terkira.
Elang mempunyai sistem pernapasan yang baik dan mampu untuk membekali
jumlah oksigen yang banyak yang diperlukan ketika
terbang. Jantung burung elang terdiri dari empat bilik
seperti manusia. Bilik atas dikenal sebagai atrium, sementara bilik bawah dikenali
sebagai ventrikel.
2.1
Komponen
Ekosistem Sawah
2.1.1
Komponen
Abiotik
a.
Tanah
Tanah
merupakan hasil evolusi alam yang bersifat dinamis sepanjang masa. Dinamika dan
evolusi alam ini terhimpun dalam defenisi bahwa tanah adalah bahan mineral yang
tidak padat terletak di permukaan bumi, yang telah dan akan tetap mengalami
perlakuan dan di pengaruhi oleh faktor-faktor genetik yang meliputi bahan
induk, iklim ( termasuk kelembaban dan suhu), organisme (makro dan mikro) dan
topologi pada suatu periode waktu tertentu. Pemahaman tanah sebagai media
tumbuh tanaman pertama kali dikemukakan oleh Dr.H.L. Jones dari university
inggris (Darmawijaya,1990), yang mengkaji hubungan tanah pada tanaman tingkat
tinggi. Kajian tanah dari aspek ini di sebut edaphologi. Tanah mempunyai
beberapa fungsi utama sebagai media tumbuh, tempat tumbuh dan berkembangnya
perakaran yang mempunyai dua peran utama, yaitu penyokong tegak tumbuhnya
trubus( bagian atas) tannaman, dan sebagai penyerap zat-zat yang di butuhkan
tanaman. Proses pelapukan dan pembusukan sangat cepat terjadi di hutan rawa air
tawar ini.
Warna tanah
merupakan indikator sifat kimiawi tanah. Tanah yang berwarna gelap berarti
banyak mengandung bahan organik tanah , hara secara intensif, sehingga relatif
subur, sedangkan tanah yang berwarna terang atau pucat berarti haranya relatif
miskin.
Kriteria Penilaian Tanah Menurut Pusat
Penelitian Tanah
(Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993)
Ciri-ciri tanah
|
Tingkatan
|
|||||||||
Sangat Rendah
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Sangat Tinggi
|
||||||
C-organik (%)
|
<1,00
|
1,00-2,00
|
2,01-3,00
|
3,01-5,00
|
>5,00
|
|||||
N-total
a. Mineral
|
<0,10
|
0,10-0,20
|
0,21-0,50
|
0,51-0,75
|
0,75
|
|||||
b. Gambut
|
<0,80
|
0,80-2,50
|
>2,50
|
|||||||
Rasio C/N
|
<5
|
5-10
|
11-15
|
16-25
|
>25
|
|||||
P2O5
Bray 1 (ppm)
|
<10
|
10-15
|
16-25
|
26-35
|
>35
|
|||||
K (me/100g)
|
<0,10
|
0,10-0,20
|
0,30-0,50
|
0,60-1,00
|
>1,00
|
|||||
Na (me/100g)
|
<0,10
|
0,10-0,30
|
0,40-0,70
|
0,80-1,00
|
>1,00
|
|||||
Mg (me/100g)
|
<0,40
|
0,40-1,00
|
1,10-2,00
|
2,10-8,00
|
>8,00
|
|||||
Ca (me/100g)
|
<2
|
2-5
|
6-10
|
11-20
|
>20
|
|||||
KTK (me/100g)
|
<5
|
5-16
|
17-24
|
25-40
|
>40
|
|||||
Kejenuhan Basa (%)
|
<20
|
20-35
|
36-50
|
51-70
|
>70
|
|||||
Kadar Abu (%)
|
<5
|
5-10
|
>10
|
|||||||
Sangat Masam
|
Masam
|
Agak Masam
|
Netral
|
Agak Alkalis
|
Alkalis
|
|||||
pH (H2O)
a. Mineral
|
<4,5
|
4,5-5,5
|
5,6-6,5
|
6,6-7,5
|
7,6-8,5
|
>8,5
|
||||
Sangat Masam
|
Sedang
|
Tinggi
|
||||||||
pH (H2O)
b. Gambut
|
<4,0
|
4-5
|
>5
|
|||||||
Perubahan-perubahan
tanah dan perubahan-perubahan iklim mengakibatkan perubahan vegetasi. suhu,
air, penyinaran, keadaan tanah dapat merupakan faktor pembatas. Faktor tanah
yang di anggap sebagai satu faktor sebenarnya terdiri atas beberapa komponen
yang masing-masing dapat menentukan keadaan tanah. Struktur tanah gembur, pasir
halus, pasir kasar, kerikil dan batu-batuan mempunyai sifat fisik yang berbeda.
Suhu tanah mempengaruhi kehidupan di dalam tanah. Kandungan mineral Ca, K, Mg,
Si, Fe, S dan lain-lain sangat berpengaruh terhadap jenis vegetasi yang tumbuh
di tanah tersebut. Defesiensi dalam salah satu unsur dapat menyebabkan tanah
dikategorisasikan sebagai pembatas. Tumbuhnya komunitas hidrofit (tumbuhan
air), higrofit (tumbuhan tanah basah,
xerofit (tumbuhan tanah kering), jelas berhubungan dengan kandungan air
didalam tanah tersebut. Tanah kritis akibat ulah manusia telah banyak terjadi
di Sumatra, Kalimantan dalam skala besar (www.tribun.com).
a.
Cahaya matahari
Lingkungan
sebagai suatu faktor ekologi yang terdapat di sekitar tumbuh-tumbuhan dan
makhluk hidup lainnya dapat terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik.
Lingkungan biotik (makhluk hidup) adalah lingkungan yang terdiri dari semua
unsur makhluk hidup yang ada (tumbuhan, hewan atau mikrobiota) dan lingkungan
tak hidup (abiotik), misalnya habitat, air, dan cahaya (Elfis, 2010).
Cahaya
didefinisikan sebagai radiasi elektromagnetik yang dapat ditangkap mata manusia
dan radiasi elektromagnetik yang pada kisaran panjang gelombangnya tidak dapat
ditangkap mata manusia, yakni mencakup cahaya inframerah dan ultraviolet yang
dapat mempengaruhi metabolisme makhluk hidup, misalnya metabolisme pada
tumbuhan (Lakitan, 2002).
Cahaya di
ekosistem sawah desa Sitakuak (Tanah Datar) berpengaruh terhadap suhu yang ada
di ekosistem ini. Disamping itu cahaya
juga berpengaruh terhadap peningkatan suhu serta penguapan air. Berikut ini
data hasil pengamatn yang didapatkan dari pengamatan.
Rata-rata Intensitas
Radiasi Matahari (Watt/m2)
No
|
Bulan
|
Radiasi harian (Watt/m2/S)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
31,9522
|
51,3915
|
59,3522
|
66,0316
|
92,6935
|
62,0290
|
62,0290
|
2.
|
Mei
|
200,0522
|
122,6222
|
122,2296
|
105,2292
|
122,2322
|
122,0220
|
122,0220
|
3.
|
Juni
|
166,0326
|
163,0222
|
192,1221
|
103,2251
|
106,9223
|
105,9321
|
105,9321
|
4.
|
Juli
|
96,9621
|
102,6621
|
103,5321
|
132,0150
|
105,2225
|
102,2223
|
102,2223
|
5.
|
Agustus
|
61,9660
|
69,9922
|
103,0150
|
105,1052
|
106,3105
|
101,0222
|
101,0222
|
6.
|
September
|
22,2252
|
66,2322
|
96,6623
|
100,5391
|
106,2222
|
105,6622
|
105,6622
|
7.
|
Oktober
|
22,2662
|
22,9921
|
69,0222
|
105,6225
|
105,9920
|
102,6692
|
102,6692
|
8.
|
November
|
22,6666
|
22,2251
|
62,6692
|
92,9210
|
101,6623
|
96,9635
|
96,9635
|
9.
|
Desember
|
61,9660
|
69,9922
|
103,0150
|
105,1052
|
106,3105
|
101,0222
|
101,0222
|
10.
|
Januari
|
22,2252
|
66,2322
|
96,6623
|
100,5391
|
106,2222
|
105,6622
|
105,6622
|
11.
|
Februari
|
22,2662
|
22,9921
|
69,0222
|
105,6225
|
105,9920
|
102,6692
|
102,6692
|
12.
|
Maret
|
22,6666
|
22,2251
|
62,6692
|
92,9210
|
101,9623
|
96,9635
|
96,9635
|
b.
Suhu dan kelembapan
Suhu merupakan
salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan makhluk
hidup, termasuk tumbuhan. Suhu dapat memberikan pengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung (Lakitan,
1987).
Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air
yang tergandung di dalam udara. Kandungan uap air akan meningkat, jika banyak
air yang berubah dari bentuk cair ke bentuk gas. Proses ini dapat terjadi jika
ada masukan energi. Sumber energi utama yang dimanfaatkan dalam proses
penguapan air ini adalah radiasi matahari. Proses penguapan air dibedakan
menjadi 2, yakni evaporasi dan transpirasi.
Suhu udara
meningkat pada kawasan ekosistem ini disebabkan beberapa hal, misalnya letak
ketinggian yang terletak di daerah pegunungan dan di selimuti awan menyebabkan
suhu menjadi turun dan meningkatkan kelembapan udara.
Rata-rata Suhu Udara (0C)
No
|
Bulan
|
Suhu udara harian
(0C)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
21,1
|
21,0
|
21,0
|
21,5
|
21,3
|
21,1
|
21,1
|
2.
|
Mei
|
20,2
|
21,1
|
21,5
|
23,1
|
23,1
|
21,3
|
21,3
|
3.
|
Juni
|
21,2
|
21,4
|
23,0
|
20,0
|
20,2
|
23,1
|
23,2
|
4.
|
Juli
|
21,4
|
21,3
|
23,3
|
20,5
|
20,4
|
20,1
|
23,1
|
5.
|
Agustus
|
21,5
|
23,1
|
21,3
|
20,0
|
20,2
|
23,1
|
21,1
|
6.
|
September
|
20,1
|
21,1
|
21,1
|
20,4
|
23,3
|
23,2
|
21,2
|
7.
|
Oktober
|
20,1
|
21,1
|
21,1
|
20,2
|
23,1
|
23,2
|
21,0
|
8.
|
November
|
20,1
|
21,2
|
21,4
|
23,0
|
23,1
|
21,5
|
21,3
|
9.
|
Desember
|
21,5
|
23,1
|
21,3
|
20,0
|
20,2
|
23,1
|
21,1
|
10.
|
Januari
|
20,1
|
21,1
|
21,1
|
20,4
|
23,3
|
23,2
|
21,0
|
11.
|
Februari
|
20,4
|
21,2
|
21,1
|
20,2
|
23,1
|
23,2
|
21,2
|
12.
|
Maret
|
20,1
|
21,2
|
21,4
|
23,0
|
23,1
|
21,5
|
21,3
|
Rata-rata Kelembaban Udara (%)
No
|
Bulan
|
Kelembaban udara
harian (%)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
86
|
84
|
81
|
84
|
86
|
85
|
85
|
2.
|
Mei
|
75
|
71
|
74
|
73
|
74
|
74
|
74
|
3.
|
Juni
|
79
|
78
|
75
|
74
|
74
|
75
|
81
|
4.
|
Juli
|
82
|
81
|
75
|
71
|
71
|
74
|
74
|
5.
|
Agustus
|
87
|
81
|
83
|
75
|
76
|
81
|
75
|
6.
|
September
|
83
|
82
|
75
|
75
|
75
|
76
|
81
|
7.
|
Oktober
|
84
|
82
|
75
|
81
|
81
|
78
|
79
|
8.
|
November
|
85
|
81
|
75
|
79
|
78
|
78
|
79
|
9.
|
Desember
|
82
|
81
|
75
|
71
|
71
|
74
|
74
|
10.
|
Januari
|
87
|
81
|
83
|
75
|
76
|
81
|
75
|
11.
|
Februari
|
83
|
82
|
75
|
75
|
75
|
76
|
81
|
12.
|
Maret
|
84
|
82
|
75
|
81
|
81
|
78
|
79
|
c.
Air dan garam mineral
Air merupakan
penyusun tubuh setiap makhluk hidup. Sebagian besar tubuh tersusun oleh air,
sehingga begitu pentingnya air bagi metabolisme kehidupan makhluk hidup. Fungsi
air dalam tubuh antara lain sebagai zat pelarut dalam tubuh serta membantu
metabolisme dalam tubuh. Selain itu, baik hewan maupun tumbuhan juga memerlukan
garam-garam mineral. Meskipun jumlah yang dibutuhkan sedikit, namun harus ada
karena tak bisa diganti oleh zat yang lain. Contohnya tumbuhan memerlukan zat
besi (Fe) untuk pembentukan klorofil. Meskipun jumlahnya sedikit jika tidak ada
maka klorofil tidak akan terbentuk, atau tumbuhan tersebut akan mengalami
klorosis (Jumin,2002).
Air tanah
berasal dari air hujan yang meresap dan tertahan di dalam bumi. Air tanah dapat
dibagi menjadi air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air sebagai komponen
lingkungan abiotik merupakan faktor ekologi yang penting selain cahaya, suhu
dan kelembaban udara, merupakan hasil proses presipitasi uap air yang sebagian
besar jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk curah hujan. Ketersediaan air per
tahun sangat menentukan keberadaan, sebaran dan berbagai proses biologi
masyarakat tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Terdapat jenis-jenis tumbuhan
yang telah beradaptasi dengan ketersediaan air dan curah hujan di habitatnya,
yaitu tumbuhan hidrofita, tumbuhan yang hidup pada habitat perairan atau
akuatik, misalnya eceng gondok (Eichhornia
crassipes); tumbuhan xerofita, tumbuhan yang hidup di habitat beriklim
kering, misalnya pohon pinus (Pinus
merkusi); dan tumbuhan mesofita, yaitu tumbuhan yang hidup di habitat yang
ketersediaan airnya tidak berlebihan atau kekurangan, misalnya pohon asam
(Tamarindus indica). Komunitas biotik berperan sangat penting dalam
keseimbangan ekosistem (www.wordpress.com).
Kisaran Nilai dan
Tingkat Analsis Agregat kimia Tanah Sawah di Lokasi Kegiatan Kabupaten Tanah
Datar
Sifat Kimia Tanah
|
Kedalaman Lapisan
(cm)
|
|||
0-30
|
30-60
|
|||
Nilai
|
Peringkat
|
Nilai
|
Peringkat
|
|
pH (H2O)
|
6,2-6,6
|
S
|
6,3-6,7
|
S
|
C-organik (%)
|
6,62-6,77
|
S
|
6,67-6,77
|
S
|
N-total (%)
|
12,77-13,66
|
S
|
12,67-13,76
|
S
|
P2O5
Bray 1 (ppm)
|
27,2-20,7
|
S
|
20,0-22,7
|
S
|
Ca (me/100g)
|
6,02-6,42
|
S
|
6,37-6,67
|
S
|
Mg(me/100g)
|
2,22-2,24
|
S
|
2,32-2,42
|
S
|
K(me/100g)
|
0,37-0,42
|
S
|
0,37-0,44
|
S
|
Na (me/100g)
|
0,48-0,66
|
S
|
0,47-0,66
|
S
|
Total Basa (me/100g)
|
8,12-8,18
|
S
|
7,04-7,26
|
S
|
KTK (me/100g)
|
21,6-22,6
|
S
|
24,6-26,7
|
S
|
Kejenuhan Basa (%)
|
47,8-41,8
|
S
|
44,7-47,7
|
S
|
Kadar Abu (%)
|
10,06-10,11
|
S
|
10,66-10,77
|
S
|
Kadar Air Lapang (%)
|
170,6-210,6
|
S
|
177,6-2257
|
S
|
Kadar Air Tanah (%)
|
170,6-201,1
|
S
|
175,6-187,7
|
S
|
Keterangan :
SM= Sangat Masam T
= Tinggi R = Rendah
ST = Sangat Tinggi S = Sedang SR =
Sangat Rendah
|
Pertanian Universitas Riau
Perubahan-perubahan
tanah dan perubahan-perubahan iklim mengakibatkan perubahan vegetasi. suhu,
air, penyinaran, keadaan tanah dapat merupakan faktor pembatas. Faktor tanah
yang di anggap sebagai satu faktor sebenarnya terdiri atas beberapa komponen
yang masing-masing dapat menentukan keadaan tanah. Struktur tanah gembur, pasir
halus, pasir kasar, kerikil dan batu-batuan mempunyai sifat fisik yang berbeda.
Suhu tanah mempengaruhi kehidupan di dalam tanah. Kandungan mineral Ca, K, Mg,
Si, Fe, S dan lain-lain sangat berpengaruh terhadap jenis vegetasi yang tumbuh
di tanah tersebut. Defesiensi dalam salah satu unsur dapat menyebabkan tanah
dikategorisasikan sebagai pembatas. Tumbuhnya komunitas hidrofit (tumbuhan
air), higrofit (tumbuhan tanah basah,
xerofit (tumbuhan tanah kering), jelas berhubungan dengan kandungan air
didalam tanah tersebut. Tanah kritis akibat ulah manusia telah banyak terjadi
di Sumatra, Kalimantan dalam skala besar (www.tribun.com).
d.
Cahaya matahari
Lingkungan
sebagai suatu faktor ekologi yang terdapat di sekitar tumbuh-tumbuhan dan
makhluk hidup lainnya dapat terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik.
Lingkungan biotik (makhluk hidup) adalah lingkungan yang terdiri dari semua
unsur makhluk hidup yang ada (tumbuhan, hewan atau mikrobiota) dan lingkungan
tak hidup (abiotik), misalnya habitat, air, dan cahaya (Elfis, 2010).
Cahaya
didefinisikan sebagai radiasi elektromagnetik yang dapat ditangkap mata manusia
dan radiasi elektromagnetik yang pada kisaran panjang gelombangnya tidak dapat
ditangkap mata manusia, yakni mencakup cahaya inframerah dan ultraviolet yang
dapat mempengaruhi metabolisme makhluk hidup, misalnya metabolisme pada
tumbuhan (Lakitan, 2002).
Cahaya di
ekosistem sawah desa Sitakuak (Tanah Datar) berpengaruh terhadap suhu yang ada
di ekosistem ini. Disamping itu cahaya
juga berpengaruh terhadap peningkatan suhu serta penguapan air. Berikut ini
data hasil pengamatn yang didapatkan dari pengamatan.
Rata-rata Intensitas
Radiasi Matahari (Watt/m2)
No
|
Bulan
|
Radiasi harian
(Watt/m2/menit)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
31,9522
|
51,3915
|
59,3522
|
66,0316
|
92,6935
|
62,0290
|
62,0290
|
2.
|
Mei
|
200,0522
|
122,6222
|
122,2296
|
105,2292
|
122,2322
|
122,0220
|
122,0220
|
3.
|
Juni
|
166,0326
|
163,0222
|
192,1221
|
103,2251
|
106,9223
|
105,9321
|
105,9321
|
4.
|
Juli
|
96,9621
|
102,6621
|
103,5321
|
132,0150
|
105,2225
|
102,2223
|
102,2223
|
5.
|
Agustus
|
61,9660
|
69,9922
|
103,0150
|
105,1052
|
106,3105
|
101,0222
|
101,0222
|
6.
|
September
|
22,2252
|
66,2322
|
96,6623
|
100,5391
|
106,2222
|
105,6622
|
105,6622
|
7.
|
Oktober
|
22,2662
|
22,9921
|
69,0222
|
105,6225
|
105,9920
|
102,6692
|
102,6692
|
8.
|
November
|
22,6666
|
22,2251
|
62,6692
|
92,9210
|
101,6623
|
96,9635
|
96,9635
|
9.
|
Desember
|
61,9660
|
69,9922
|
103,0150
|
105,1052
|
106,3105
|
101,0222
|
101,0222
|
10.
|
Januari
|
22,2252
|
66,2322
|
96,6623
|
100,5391
|
106,2222
|
105,6622
|
105,6622
|
11.
|
Februari
|
22,2662
|
22,9921
|
69,0222
|
105,6225
|
105,9920
|
102,6692
|
102,6692
|
12.
|
Maret
|
22,6666
|
22,2251
|
62,6692
|
92,9210
|
101,9623
|
96,9635
|
96,9635
|
e.
Suhu dan kelembapan
Suhu merupakan
salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan makhluk
hidup, termasuk tumbuhan. Suhu dapat memberikan pengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung (Lakitan,
1987).
Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air
yang tergandung di dalam udara. Kandungan uap air akan meningkat, jika banyak
air yang berubah dari bentuk cair ke bentuk gas. Proses ini dapat terjadi jika
ada masukan energi. Sumber energi utama yang dimanfaatkan dalam proses
penguapan air ini adalah radiasi matahari. Proses penguapan air dibedakan
menjadi 2, yakni evaporasi dan transpirasi.
Suhu udara
meningkat pada kawasan ekosistem ini disebabkan beberapa hal, misalnya letak ketinggian
yang terletak di daerah pegunungan dan di selimuti awan menyebabkan suhu
menjadi turun dan meningkatkan kelembapan udara.
Rata-rata Suhu Udara (0C)
No
|
Bulan
|
Suhu udara harian
(0C)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
21,1
|
21,0
|
21,0
|
21,5
|
21,3
|
21,1
|
21,1
|
2.
|
Mei
|
20,2
|
21,1
|
21,5
|
23,1
|
23,1
|
21,3
|
21,3
|
3.
|
Juni
|
21,2
|
21,4
|
23,0
|
20,0
|
20,2
|
23,1
|
23,2
|
4.
|
Juli
|
21,4
|
21,3
|
23,3
|
20,5
|
20,4
|
20,1
|
23,1
|
5.
|
Agustus
|
21,5
|
23,1
|
21,3
|
20,0
|
20,2
|
23,1
|
21,1
|
6.
|
September
|
20,1
|
21,1
|
21,1
|
20,4
|
23,3
|
23,2
|
21,2
|
7.
|
Oktober
|
20,1
|
21,1
|
21,1
|
20,2
|
23,1
|
23,2
|
21,0
|
8.
|
November
|
20,1
|
21,2
|
21,4
|
23,0
|
23,1
|
21,5
|
21,3
|
9.
|
Desember
|
21,5
|
23,1
|
21,3
|
20,0
|
20,2
|
23,1
|
21,1
|
10.
|
Januari
|
20,1
|
21,1
|
21,1
|
20,4
|
23,3
|
23,2
|
21,0
|
11.
|
Februari
|
20,4
|
21,2
|
21,1
|
20,2
|
23,1
|
23,2
|
21,2
|
12.
|
Maret
|
20,1
|
21,2
|
21,4
|
23,0
|
23,1
|
21,5
|
21,3
|
Rata-rata Kelembaban Udara (%)
No
|
Bulan
|
Kelembaban udara
harian (%)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1.
|
April
|
86
|
84
|
81
|
84
|
86
|
85
|
85
|
2.
|
Mei
|
75
|
71
|
74
|
73
|
74
|
74
|
74
|
3.
|
Juni
|
79
|
78
|
75
|
74
|
74
|
75
|
81
|
4.
|
Juli
|
82
|
81
|
75
|
71
|
71
|
74
|
74
|
5.
|
Agustus
|
87
|
81
|
83
|
75
|
76
|
81
|
75
|
6.
|
September
|
83
|
82
|
75
|
75
|
75
|
76
|
81
|
7.
|
Oktober
|
84
|
82
|
75
|
81
|
81
|
78
|
79
|
8.
|
November
|
85
|
81
|
75
|
79
|
78
|
78
|
79
|
9.
|
Desember
|
82
|
81
|
75
|
71
|
71
|
74
|
74
|
10.
|
Januari
|
87
|
81
|
83
|
75
|
76
|
81
|
75
|
11.
|
Februari
|
83
|
82
|
75
|
75
|
75
|
76
|
81
|
12.
|
Maret
|
84
|
82
|
75
|
81
|
81
|
78
|
79
|
f.
Air dan garam mineral
Air merupakan
penyusun tubuh setiap makhluk hidup. Sebagian besar tubuh tersusun oleh air,
sehingga begitu pentingnya air bagi metabolisme kehidupan makhluk hidup. Fungsi
air dalam tubuh antara lain sebagai zat pelarut dalam tubuh serta membantu
metabolisme dalam tubuh. Selain itu, baik hewan maupun tumbuhan juga memerlukan
garam-garam mineral. Meskipun jumlah yang dibutuhkan sedikit, namun harus ada
karena tak bisa diganti oleh zat yang lain. Contohnya tumbuhan memerlukan zat
besi (Fe) untuk pembentukan klorofil. Meskipun jumlahnya sedikit jika tidak ada
maka klorofil tidak akan terbentuk, atau tumbuhan tersebut akan mengalami
klorosis (Jumin,2002).
Air tanah
berasal dari air hujan yang meresap dan tertahan di dalam bumi. Air tanah dapat
dibagi menjadi air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air sebagai komponen
lingkungan abiotik merupakan faktor ekologi yang penting selain cahaya, suhu
dan kelembaban udara, merupakan hasil proses presipitasi uap air yang sebagian
besar jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk curah hujan. Ketersediaan air per
tahun sangat menentukan keberadaan, sebaran dan berbagai proses biologi
masyarakat tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Terdapat jenis-jenis tumbuhan
yang telah beradaptasi dengan ketersediaan air dan curah hujan di habitatnya,
yaitu tumbuhan hidrofita, tumbuhan yang hidup pada habitat perairan atau
akuatik, misalnya eceng gondok (Eichhornia
crassipes); tumbuhan xerofita, tumbuhan yang hidup di habitat beriklim
kering, misalnya pohon pinus (Pinus
merkusi); dan tumbuhan mesofita, yaitu tumbuhan yang hidup di habitat yang
ketersediaan airnya tidak berlebihan atau kekurangan, misalnya pohon asam
(Tamarindus indica). Komunitas biotik berperan sangat penting dalam
keseimbangan ekosistem (www.wordpress.com)
2.1.2 Komponen Biotik
Pada
bentangan tanah datar yang berada di daerah desa sitakuak (Tanah Datar) ini
mempunyai jenis flora khusus dan terbatas serta didominasi oleh padi (Oryza sativa L).
Sawah dan tegalan
memiliki keanekaragaman hayati yang sama, didominasi oleh padi. Jenis-jenis
flora selain padi yang ditemukan dalam jumlah sedikit antara lain: kelapa
(Coconut nucifera), pisang (Musa paradisiaca), cengkih (Syzygium aromaticum),
palem-paleman dan berbagai jenis lainnya. Faunanya antara lain : Ular sawah,
belalang, kodok, cacing, burung elang, burung pemakan biji, dan berbagai jenis
ikan, fitoplankton dan zoplanton. Sawah dan tegalan memiliki permukaan tanah
yang kaya akan mineral.
Tabel 1 tumbuhan (Biotik) penyusun
ekosistem sawah bertingkat.
No
|
Tumbuhan
|
1.
|
oryza sativa
|
2.
|
Ludwigia
perennis
|
3.
|
Ludwigia hysofolia
|
4.
|
Mimosa sp
|
5.
|
Cyperus pilosus
|
6.
|
Frimbristylis
|
7.
|
Musa paradisiacal
|
Tabel
2 Hewan (Biotik) penyusun ekosistem
sawah bertingkat
No
|
Nama hewan
|
Nama
Ilmiah
|
1
|
Wereng
|
Nephotettix
ssp
|
2
|
Keong
|
Mendominasi
|
3
|
Katak
|
Ranae
|
4
|
Tikus
|
Mus
|
5
|
Ulat
|
Anguis
|
6
|
Itik
|
Anas moscha
|
7
|
Ayam
|
Gallus gallus domesticus
|
8
|
Ular
|
Python retIculatus
|
9
|
Burung
|
Passer montanus
|
BAB 3
POLA-POLA INTERAKSI PADA EKOSISTEM
SAWAH
3.1
Pola
Interaksi Biotik Pada Ekosistem Sawah
Ekosistem tumbuh-tumbuhan mempunyai peran yang penting,
antara lain dapat mengubah kondisi habitat dan lingkungannya, seperti
mengurangi radiasi sinar matahari, mengatur iklim, atau membentuk humus
mengikat energi matahari menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis dan
menjadi menjadi sumber energi dan sumber nutrisi dengan adanya kandungan
unsurunsur organik maupun anorganik, energi yang berguna untuk makhluk hidup
lainnya
(Shifadini,2010).
Menurut
Dwidjoseputro (1990), Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari
komunitas dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman
interaksinya. Interaksi antarkomponen ekologi dapat merupakan interaksi antarorganisme,
antarpopulasi, dan antarkomunitas.
3.1.1 Interaksi
Antar Organisme
Menurut
Dwidjoseputro (1990), Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk
hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain
yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau
individu-individu dari populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di
sekitar kita. Hubungan antar organisme yaitu hubungan
antar dua organisme yang berbeda spesies. Antara dua organisme berbeda jenis tidak akan terjadi hubungan apa-apa bila
keduanya hidup terpisah. Tetapi kalau keduanya hidup di suatu tempat yang sama, bisa terjadi hubungan yang
berbeda-beda sifatnya.
Selanjutnya
Dwidjoseputro (1990), interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat
erat dan ada yang kurang erat. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan
sebagai berikut:
a.
Netral,
adalah hubungan tidak saling mengganggu antar
organisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak
menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak, disebut netral.
Pada ekosistem sawah dan tegalan yang terjadi adalah interaksi netralisme
karena perebutan unsur hara yang terkandung dalam tanah. Berarti tumbuhan tidak
mengalami masalah dalam hal nutrisi, dan interaksi yang di lakukan oleh
rumput-rumputan dengan cara kompetisi akar per individu. Karena pertumbuhannya
merumpun, ini menyebabkan terjadinya kompetisi akar.
b.
Predasi
adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat
sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga
berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Contoh : elang dengan mangsanya, yaitu ular sawah dan
tikus.
c.
Parasitisme
adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bila
salah satu organisme hidup pada organisme lain dan
mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya.
Contoh; benalu dengan pohon inang.
d.
Komensalisme
adalah merupakan hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies dalam bentuk
kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies diuntungkan
dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya anggrek dengan pohon yang
ditumpanginya.
e.
Mutualisme
adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang
salingmenguntungkan kedua belah pihak. Contoh, bakteri
Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.
3.1.2 Interaksi
Antar Populasi
Menurut
Kistinnah (2009), Populasi adalah sekelompok
individu spesies yang sama yang menempati suatu ruang, dan secara kolektif
mempunyai sifat yang khas sebagai suatu kelompok. Sifat kolektif tersebut
antara lain adalah kepadatan populasi, natalitas, mortalitas, dan distribusi
umur. Populasi pada umumnya ada dalam keseimbangan yang dinamis, yang
dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor. Peristiwa terjadinya penyerbukan
silang merupakan interaksi antarindividu di dalam populasi. Interaksi pada
tumbuhan terlihat tidak begitu jelas, interaksi akan terlihat jelas pada hewan
atau manusia. Contoh pola interaksi antar populasi adalah alelopati dan
kompetisi
Alelopati merupakan interaksi antar populasi, bila
populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi
lain. Contohnya, di sekitar ilalang jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena
tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik bagi tumbuhan lain.
Pada
mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai anabiosa. Contoh,
jamur Penicillium sp. dapat menghasilkan antibiotika yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu.
Kompetisi merupakan interaksi antar populasi, bila antar
populasi terdapat kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk
mendapatkan apa yang diperlukan. Persaingan ini biasanya disebabkan
makhluk hidup tersebut mempunyai kesamaan bahan makanannya. Contoh lainnya
yaitu: burung elang dengan ular sawah dalam memperebutkan tikus
dan tanaman
padi dengan gulma yang memperebutkan nutrisi dalam tanah dan sinar matahari.
3.1.1 Interaksi
Antar Komunitas
Menurut
shifadini (2010), Komunitas
adalah kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling
berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas
sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung,
ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton,
fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi
interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran
organisme hidup dari kedua komunitas tersebut. Interaksi antarkomunitas cukup
komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan.
Interaksi antarkomunitas dapat
kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon
melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat. Komunitas biotik berperan sangat penting
dalam keseimbangan ekosistem. Komunitas adalah beberapa populasi yang hidup
pada suatu habitat fisik tertentu, yang merupakan suatu unit organisasi dengan
karakteristik tertentu sebagai tambahan dari komponen karakteristik populasi
penyusunnya, dan berfungsi sebagai suatu unit melalui berbagai transformasi
metabolik. Ukuran dan komposisi spesies pada komunitas adalah berbeda-beda,
namun dapat dikelompokkan sesuai dengan tingkatan tropiknya, yaitu produsen,
konsumen, dan dekomposer. Karakter umum dari suatu komunitas biasanya
ditentukan oleh spesies yang dominan pada komunitas tersebut. Keanekaragaman
spesies merupakan faktor penting dari suatu komunitas selain dominansi.
Keanekaragaman komunitas ditentukan pula oleh pola komunitas yang merupakan
pola penyebaran atau stratifikasi dari spesies yang hidup pada komunitas
tersebut.
Selanjutnya menurut Kistinnah (2009), Interaksi antar
individu dalam komunitas dapat terjadi antar individu sesama jenis dalam
populasi. Pada saat tanaman kelapa berbunga, datang sepasang kupu-kupu mengisap
madu sebagai makanannya, di kebun itu juga ada seekor burung kutilang yang
sedang membuat sarang di atas pohon, serta seekor burung elang bertengger di
pelepah pohon kelapa sedang mengawasi tikus-tikus di sawah sebagai makanannya,
karena burung elang sebagai predator juga dapat memakan burung kutilang ataupun
kupu-kupu di kebun itu. Dengan demikian, dapat dikatakan, setiap jenis makhluk
hidup mempunyai fungsi masing-masing di dalam ekosistem, yaitu makhluk hidup
sebagai produsen, konsumen, pengurai (perombak), dan detritivor.
a.
Produsen
Di
dalam ekosistem ada makhluk hidup yang dapat membuat/mencukupi kebutuhan
dirinya sendiri yang disebut produsen primer (autotrof). Jenis makhluk
hidup autotrof ada dua macam, yaitu makhluk hidup mensintesis makanannya dari
molekul anorganik dengan bantuan energi sinar matahari yang disebut fototrofik.
Contohnya, semua tumbuhan hijau, alga, dan bakteri belerang. Ada pada
makhluk hidup yang mensintesis makanannya dari molekul anorganik dengan energi
kimia yang disebut kemotrofik, contohnya bakteri pendaur nitrogen (Nitrosomonas).
Produsen primer ekosistem darat terdapat pada golongan tumbuhan tingkat tinggi,
yaitu dari golongan Angiospermae dan Gymnospermae yang membentuk hutan atau
padang rumput, sedangkan pada ekosistem air terdapat golongan tumbuhan tingkat
rendah, yaitu alga.
b.
Konsumen
Konsumen
di dalam ekosistem adalah semua makhluk hidup yang tidak dapat membuat
makanannya sendiri yang disebut heterotrof, sehingga makhluk hidup
tersebut hanya dapat menelan atau mencerna sebagian, bahkan keseluruhan makhluk
hidup lain sebagai bahan makanan organik. Ada beberapa tingkatan untuk makhluk
hidup heterotrof, yaitu sebagai berikut:
Dengan
adanya interaksi-interaksi tersebut, suatu ekosistem dapat mempertahankan
keseimbangannya. Pengaturan untuk menjamin terjadinya keseimbangan ini
merupakan ciri khas suatu ekosistem. Apabila keseimbangan ini tidak diperoleh
maka akan mendorong terjadinya dinamika perubahan ekosistem untuk mencapai
keseimbangan baru.
3.2
Pola
Interaksi Pada Ekosistem Sawah
3.2.1
Pola
Rantai Makanan
Menurut
Jumin (2002), dalam rantai makanan (food
chain), bermacam-macam organisme yang mendapat makanan dari tumbuhan dengan
jumlah transfer yang sama, menempati tingkatan trofik yang sama. Jadi dalam
suatu ekosistem tanaman menempati trofik pertama, hewan herbivora menempati
trofik ke dua dan demikian seterusnya. Dalam urutan linier dari rantai makanan,
salah satu ujung rantai berupa organisme ototrof, sedangkan ujung yang lain
berupa predator yang di sebut karnivora puncak.
Rantai makanan adalah perpindahan
energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang
makan (tumbuhan-herbivora-carnivora-omnivora). Pada setiap tahap pemindahan
energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu
langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan
perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang
tersedia.
Ada
dua tipe dasar rantai makanan:
a.
Rantai makanan rerumputan (grazing
food chain). Misalnya: tumbuhan-herbivora-carnivora-omnivora.
b.
Rantai makanan sisa (detritus food
chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa)
predator dan bangkai (www.wikipedia.org/rantai makanan).
Menurut
Aryulina (2004), Komunitas dari suatu ekosistem berinteraksi satu sama lain dan
juga berinteraksi dengan lingkungan abiotik. Interaksi suatu organisme dengan
lingkungannya terjadi untuk kelangsungan hidupnya. Kelangsungan hidup organisme
memerlukan energi. Energi untuk kegiatan hidup di peeroleh dari bahan organik.
Bahan organik dalam komponen biotik awalnya terbentuk dengan bantuan energi
cahaya matahari dan unsur-unsur hara,
seperti karbon dan nitrogen. Peristiwa makan dan di makan antar-organisme dalam
suatu ekosistem membentuk struktur trofik. Struktur trofik terdiri dari
tingkat-tingkat trofik.
Tingkat
trofik pertama adalah komponen organisme autotrof. Dalam struktur trofik,
organisme autotrof di sebut produsen. Produsen pada ekosistem darat adalah
tumbuhan hijau. Tingkat trofik kedua dari struktur trofik suatu ekosistem di
tempati oleh berbagai organisme yang tidak dapat membuat bahan organik sendiri.
Bahan organik di peroleh dengan memekan organisme atau sisa-sisa organisme lain sehingga
organisme heterototrof di sebut konsumen. Konsumen terdiri dari konsumen primer
pada tingkat trofik kedua, konsumen skunder pada tingkat trofik ke tiga, dan
konsumen tersier pada tingkat trofik ke tiga. Jalur makan dan di makan dari
organisme pada suatu tingkat trofik ke
tingkat trofik berikutnya membentuk urutan dan arah tertentu dan di sebut
rantai makanan.
3.2.2
Pola
Jaring-jaring makanan
Jaring-jaring makanan adalah kumpulan
dari rantai makanan yang saling berhubungan dan membentuk skema mirip
jaring. Kelangsungan hidup organisme membutuhkan energi dari bahan organik
yang dimakan. Bahan organik yang mengandung energi dan unsur-unsur kimia
transfer dari satu organisme ke organisme lain berlangsung melalui interaksi
makan dan dimakan. Peristiwa makan dan dimakan antar organisme dalam suatu
ekosistem membentuk struktur trofik yang bertingkat-tingkat.
Setiap tingkat trofik merupakan
kumpulan berbagai organisme dengan sumber makanan tertentu. Tingkat trofik
pertama adalah kelompok organisme autotrop yang disebut produsen. Organisme
autotrof adalah organisme yang dapat membuat bahan organik sendiri dari bahan
anorganik dengan bantuan sumber energi. Bila dapat menggunakan energi cahaya
seperti cahaya, matahari disebut fotoautotrof, contohnya tumbuhan hijau dan
fitoplankton. Apabila menggunakan bantuan energi dari reaksi-reaksi kimia
disebut kemoautotrof, misalnya, bakteri sulfur, bakteri nitrit, dan bakteri
nitrat. Tingkat tropik kedua ditempati oleh berbagai organisme yang tidak dapat
menyusun bahan organik sendiri yang disebut organisme heterotrof. Organisme
heterotrof ini hanya menggunakan zat organik dari organisme lain sehingga
disebut juga konsumen. Pembagian konsumen adalah sebagai berikut.
a.
Konsumen Primer
Organisme pemakan produsen
(herbivora), dalam hal ini adalah ulat, belalang, tikus, dan burung kutilang
yang menempati tingkat trofik kedua.
b.
Konsumen Sekunder
Organisme pemakan herbivora
(karnivora kecil) seperti burung kutilang yang memakan ulat dan belalang yang
menempati tingkat trofik ketiga.
c.
Konsumen Tersier
Organisme
pemakan konsumen sekunder (karnivora besar) seperti ular sawah yang memakan
tikus atau burung elang yang memakan ular sawah, burung kutilang, dan
tikus yang menempati tingkat trofik
keempat
Dengan
adanya peristiwa makan dan dimakan ini merupakan bentuk interaksi yang akan
menimbul keseimbangan lingkungan.
3.3 Piramida Ekologi Ekosistem Sawah
Struktur trofik dapat disusun secara
urut sesuai hubungan makan dan dimakan antar trofik yang secara umum
memperlihatkan bentuk kerucut atau piramid. Gambaran susunan antar trofik dapat
disusun berdasarkan kepadatan populasi, berat kering, maupun kemampuan
menyimpan energi pada tiap trofik yang disebut piramida ekologi. Piramida
ekologi ini berfungsi untuk menunjukkan gambaran perbandingan antar trofik pada
suatu ekosistem. Pada tingkat pertama ditempati produsen sebagai dasar dari
piramida ekologi, selanjutnya konsumen primer, sekunder, tersier sampai
konsumen puncak.
Menurut
Kistinnah (2009) Ada 3
macam-macam piramida ekologi adalah sebagai berikut:
3.3.1
Piramida
jumlah
Menurut
Kistinnah (2009), Piramida yang menggambarkan terjadinya penurunan
jumlah individu organisme pada tiap tingkatan trofik. Pada ekosistem hutan rawa air tawar di langgam
ini terdapatnya piramida yang menggambarkan terjadinya penurunan / peningkatan
biomassa organisme pada tingkat trofik, karena semakin kebawah makin besar dan
ke atas semakin kecil, ini di sebabkan pada tingkat produsen yaitu tumbuh-tumbuhan
gambaran metabolismenya cepat, sedangkan pada tingkat karnivora besar seperti
elang yang ada di hutan ini merupakan rantai makanan tertinggi. Tetapi semakin
kebawah tingkat metabolismenya tidak efesien memanfaatkan energi.
3.3.1
Piramida
Biomassa
Piramida biomassa yaitu suatu
piramida yang menggambarkan berkurangnya transfer energi pada setiap tingkat
trofik dalam suatu ekosistem. Pada piramida biomassa setiap tingkat trofik
menunjukkan berat kering dari seluruh organisme di tingkat trofik yang dinyatakan
dalam gram/m2. Umumnya bentuk piramida biomassa akan mengecil ke
arah puncak, karena perpindahan energi antara tingkat trofik tidak efisien.
Tetapi piramida biomassa dapat berbentuk terbalik.
Menurut
Kistinnah (2009), Piramida yang menggambarkan terjadinya penurunan atau
peningkatan biomassa organisme pada tiap tingkatan trofik.
Piramida berat (biomassa) merupakan taksiran berat organisme yang mewakili
setiap taraf trofi dengan cara tiap-tiap individu ditimbang dan dicatat jumlahnya
dalam suatu ekosistem. Misalnya biomassa tumbuhan di ukur berat akar, batang,
dan daun yang menempati areal tertentu. Piramida biomasa dibuat berdasarkan
berat total populasinya pada suatu waktu. Satuan yang dipakai adalah berat
total organisme dalam satuan berat (gr/kg) per satuan luas tertentu (m² atau
hektar) yang biasanya diukur dalam berat kering. Penggunaan piramida ini tidak memuaskan
karena bentuk yang berubah-ubah. Hal ini tergantung pada iklim dan dalam
transfer energi sebagian akan hilang, yaitu digunakan untuk respirasi atau
sebagai panas yang masuk ke biosfer.
3.3.1
Piramida
energi
Piramida
energi adalah piramida yang menggambarkan hilangnya energi pada saat
perpindahan energi makanan di setiap tingkat trofik dalam suatu
ekosistem. Pada piramida energi tidak hanya jumlah total energi yang
digunakan organisme pada setiap taraf trofik rantai makanan tetapi juga
menyangkut peranan berbagai organisme di dalam transfer energi.
Menurut
Anshori (2009), Dasar penentuan piramida energi adalah dengan cara menghitung
jumlah energi tiap satuan luas yang masuk ke tingkat trofik dalam waktu
tertentu, (misalnya per jam, per hari, per tahun). Piramida energi dapat
memberikan gambaran lebih akurat tentang kecepatan aliran energi dalam
ekosistem atau produktivitas pada tingkat trofik. Kandungan energi tiap trofik
sangat ditentukan oleh tingkat trofiknya sehingga bentuk grafiknya sesuai
dengan piramid ekologi yang sesungguhnya di lingkungan. Energi yang mampu
disimpan oleh individu tiap trofik dinyatakan dalam k kal/m2/hari.
Dalam
penggunaan energi, makin tinggi tingkat trofiknya maka makin efisien
penggunaannya. Namun panas yang dilepaskan pada proses tranfer energi menjadi
lebih besar. Hilangnya panas pada proses respirasi juga makin meningkat dari
organisme yang taraf trofiknya rendah ke organisme yang taraf trofiknya lebih
tinggi. Sedangkan untuk produktivitasnya, makin ke puncak tingkat trofik
makin sedikit, sehingga energi yang tersimpan semakin sedikit juga. Energi dalam
piramida energi dinyatakan dalam kalori per satuan luas per satuan waktu.
3.3
Aliran
Energi dan Siklus Materi
3.3.1
Aliran Energi
Menurut
Jumin (2002), Energi merupakan faktor utama yang mengendalikan ekosistem.
Sedangkan interaksi antara berbagai spesies dalam ekosistem itu hanya merukan
faktor ikutan. Pada hakikatnya hampir semua ekosistem dibumi dibatasi oleh
energi matahari yang tersedia. Tetapi batas toleransi berbagai spesies terhadap
faktor abiotik, misalnya suhu, cahaya, unsur hara, juga mebatasi besarnya
populasi dalam ekosistem. Tetapi peranan faktor toleransi terhadap faktor fisik
lebih kecil peranannya bila dibandingkan dengan faktor energi. Energi diartikan
sebagai kemampuan untuk melakukan usaha. Energi yang ditransfer dari satu
organisme ke organisme lainnya adalah konstan, selama zat pembawa energi itu
tetap jumlahnya. Perilaku energi dialam mengikuti hukum termodinamika.
Hukum
termodinamika pertama berbunyi;
energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Energi tidak dapat
diciptakan dan tidak dapat dimunahkan. Sebagi contoh energi radiasi matahari
dapat diubah oleh tanaman menjadi energi kimia yang tersimpan dalam
karbohidrat. Apabila karbohidrat itu dioksidasi, energi tadi akan menjelma
kembali dalam wujud lain, misalnya menjadi enrgi panas. Hukum termodinamika
pertam sering juga disebut dengan hukum konservasi energi (consevation of
energy). Organisme berfungsi sebagai pengalir energi, dari satu organisme ke
organisme lainnya tanpa mengurangi kuantitasnya selagi jumlah zat yang
mengandung energi itu tetap.
Hukum
termodinamika kedua berbunyi; energi
dapat menjadi spontan selama ada penurunan derajat (degradasi) dari sumber
konsentrasi tinggi secara menyebar untuk mencapai perataan. Hukim termodinamika
kedua dapat diterangkan dengan panas yang makin lama panasnya menurunkarena
aliran (konveksi) untuk perataan. Contoh yang lainnya adalah radiasi matahari
yang dipancarkan ke bumi. Energi radiasi matahari itu tidak pernah kembali ke
matahari. Namun energi itu tidak akan pernah habis selagi bahan dasar dan proses
penciptaan energi di matahari itu belum habis.
Menurut
Kistinnah (2009), Secara
langsung maupun tidak langsung, sumber energi setiap ekosistem berasal dari
sinar matahari yang diubah oleh tumbuhan hijau (autotrof) menjadi energi kimia
dalam bentuk zat-zat organik (makanan) melalui proses fotosintesis.
Energi
cahaya matahari masuk ke dalam komponen biotik melalui produsen (organisme
fotoautotropik) yang diubah menjadi energi kimia tersimpan di dalam senyawa
organik. Energi kimia mengalir dari produsen ke konsumen dari berbagai tingkat
tropik melalui jalur rantai makanan. Energi kimia tersebut digunakan organisme
untuk pertumbuhan dan perkembangan. Kemampuan organisme-organisme dalam
ekosistem untuk menerima dan menyimpan energi dinamakan produktivitas ekosistem.
Produktivitas ekosistem terdiri dari produktivitas primer dan produktivitas
sekunder.
Produktivitas
primer adalah kecepatan organisme autotrop sebagai produsen mengubah energi
cahaya matahari menjadi energi kimia dalam bentuk bahan organik. Hanya sebagian
kecil energi cahaya yang dapat diserap oleh produsen. Produktivitas primer
berbeda pada setiap ekosistem, yang terbesar ada pada ekosistem hutan hujan
tropis dan ekosistem hutan bakau.
Seluruh
bahan organik yang dihasilkan dari proses fotosintesis pada organisme
fotoautotrop disebut produktivitas primer kotor (PPk). Lebih kurang 20% dari
PPK digunakan oleh organisme fotoautotrop untuk respirasi, tumbuh dan
berkembang. Sisa PPK yang baru disimpan dikenal sebagai produktivitas primer
bersih (PPB). Biomassa organisme autotrop (produsen) diperkirakan mencapai
50%-90% dari seluruh bahan organik hasil fotosintesis. Hal ini menunjukkan
simpanan energi kimia yang dapat ditransfer ke trofik selanjutnya melalui
hubungan makan dimakan dalam ekosistem.
Produktivitas
sekunder adalah kecepatan organisme heterotrop mengubah energi kimia dari bahan
organik yang dimakan menjadi simpanan energi kimia baru di dalam tubuhnya.
Energi kimia dalam bahan organik yang berpindah dari produsen ke organisme
heterotrop (konsumen primer) dipergunakan untuk aktivitas hidup dan hanya
sebagian yang dapat diubah menjadi energi kimia yang tersimpan di dalam
tubuhnya sebagai produktivitas bersih.
Demikian
juga perpindahan energi ke konsumen sekunder dan tersier akan selalu menjadi
berkurang. Perbandingan produktivitas bersih antara trofik dengan trofik-trofik
di atasnya dinamakan efisiensi ekologi. Diperkirakan hanya sekitar 10% energi
yang dapat ditransfer sebagai biomassa dari trofik sebelumnya ke trofik
berikutnya.
Menurut
Shifadini (2010), semua organisme memerlukan energi untuk aktivitas hidupnya.
Sebagian besar produsen primer (tumbuhan berklorofil) menggunakan energi cahaya
untuk berfotosintesis yang dapat mensintesis molekul organic yang kaya energi,
yang selanjutnya dapat dirombak untuk membuat ATP. Konsumen mendapatkan bahan
bakar organiknya melalui jaring-jaring makanan.
Menurut
Shifadini (2010), Tumbuhan dimakan oleh herbivora, dengan demikian energi
makanan dari tumbuhan mengalir masuk ke tubuh herbivora. Herbivora dimakan oleh
karnivora, sehingga energi makanan dari herbivora masuk ke tubuh karnivora.
Dengan demikian, keadaan aktivitas fotosintesis menentukan batas pengeluaran
bagi pengaturan energi keseluruhan ekosistem.
Energi dari
sinar matahari merupakan tenaga pengendali dari semua ekosistem. Tumbuhan
dengan memanfaatkan tenaga yang berasal dari sinar matahari mempunyai kemampuan
untuk menyerap dan mengumpulkan nutrisi dari tanah dan gas dari udara untuk
menghasilkan makanannya. Energi beredar dalam ekosistem dalam bentuk rantai makanan dan jaring-jaring makanan dari suatu
tingkat rofik ke tingkat trofik berikutnya. Dengan cara demikianlah energi
mengalir dalam sistem alam ini. Para ahli ekologi mempunyai pandangan, secara
tradisional terhadap aliran energi dalam ekosistem ini sama dengan para ahli
ilmu lainnya, yaitu mengamati aliran energi dalam sistem fisika. Mereka secara
formal memahami bahwa energi dalam sistem dalam berbagai bentuk.
Aliran
energi dalam ekosistem mengalami tahapan proses sebagai berikut :
·
Energi masuk ke dalam ekosistem berupa energi
matahari, tetapi tidak semuanya dapat digunakan oleh tumbuhan dalam proses
fotosintesis. Hanya sekitar setengahnya dari rata-rata sinar matahari yang
sampai pada tumbuhan diabsorpsi oleh mekanisme fotosintesis, dan juga hanya
sebagian kecil, sekitar 1-5 %, yang diubah menjadi makanan (energi kimia).
Sisanya keluar dari sistem berupa panas, dan energi yang diubah menjadi makanan
oleh tumbuhan dipakai lagi untuk proses respirasi yang juga sebagai keluaran
dari sistem.
·
Energi yang disimpan berupa materi tumbuhan mungkin
dilakukan melalui rantai makanan dan jaring-jaring makanan melalui herbivora
dan detrivora. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, terjadinya kehilangan
sejumlah energi diantara tingkatan trofik, maka aliran energi berkurang atau
menurun ke arah tahapan berikutnya dari rantai makanan. Biasanya herbivora
menyimpan sekitar 10 % energi yang dikandung tumbuhan, demikian pula karnivora
menyimpan sekitar 10 % energi yang dikandung mangsanya.
·
Apabila materi tumbuhan tidak dikonsumsi, maka akan
disimpan dalam sistem, diteruskan ke pengurai, atau diekspor dari sistem
sebagai materi organik.
·
Organisme-organisme pada setiap tingkat konsumen dan
juga pada setiap tingkat pengurai memanfaatkan sebagian energi untuk
pernafasannya, sehingga terlepaskan sejumlah panas keluar dari sistem.
·
Dikarenakan ekosistem adalah suatu sistem terbuka,
maka beberapa materi organik mungkin dikeluarkan menyeberang batas dari sistem.
Misalnya akibat pergerakan sejumlah hewan ke wilayah, ekosistem lain, atau
akibat aliran air sejumlah gulma air keluar dari sistem terbawa arus.
Penyimpanan energi dalam ekosistem
dapat berupa materi-materi dalam tumbuhan atau hewan. Jumlah nyata dari materi
hidup yang terkandung dalam ekosistem difahami sebagai “standing crop”. Para
ahli ekologi biasanya mengkaji standing crop ini untuk setiap tingkat trofik
yang nantinya akan memberikan gambaran pola aliran energi melalui sistem. Hasil
kajian dari standing crop untuk setiap tingkatan trofik ini bila diekspresikan
dalam bentuk histogram akan menggambarkan suatu piramida tingkat trofik atau
lebih dikenal dengan piramida ekologi.
3.3.1
Siklus Materi
Menurut
Kistinnah (2009), Daur materi merupakan suatu siklus, artinya jika suatu
organisme mati, tidak berarti aliran materinya terhenti. Aliran itu melibatkan
unsur senyawa kimia yang mengalami perpindahan lewat organisme(biotik) dan
beredar kembali ke lingkungan fisik (abiotik) yang disebut daur biogeokimia.
Pada perputaran
materi yang terjadi diantara komponen ekosistem, materi yang menyusun tubuh
organisme berasal dari bumi yang berupa unsur unsur terdapat dalam senyawa
kimia yang dipelajari antara lain : siklus oksigen, siklus karbon, siklus
nitrogen, dan siklus sulfur. Secara struktural setiap siklus materi mengalami
pertukaran unsur kimia. Siklus materi yang satu dengan yang lain dapat saling
terkait atau saling mempengaruhi. Aktivitas manusia juga dapat mempengaruhi
siklus materi. Sebagai contohnya adalah kegiatan pabrik dan mesin-mesin
kendaraan bermotor dapat meningkatkan kandungan senyawa-senyawa oksidasi
belerang, oksida nitrogen, dan gas CFC di udara. Jadi, hubungan yang paling
erat adalah setiap materi di bumi pasti memiliki suatu energi dalam bentuk diam
ataupun bergerak (Shifadin, 2010).
Keberadaan makhluk hidup di dunia
ini tergantung pada aliran energi dan siklus materi melalui ekosistem.
Kedua proses tadi mempengaruhi jumlah dari organisme-organisme, kecepatan
proses metabolisme, dan kompleksitas dari komunitas. Energi dari materi
mengalir melalui ekosistem bersama-sama sebagai materi organik, satu sama
lainnya tidak bisa dipisah-pisahkan. Tetapi aliran energi adalah satu arah,
sekali dimanfaatkan oleh ekosistem akan hilang keluar dari sistem. Sedangkan
materi, dalam hal ini berupa materi, melakukan suatu siklus. Atom dari kalsium
atau karbon berkemampuan untuk mengalir melalui makhluk hidup dan bagian
non-hidup berkali-kali, atau dapat pula dipindah dari suatu ekosistem ke
ekosistem lainnya. Berdasarkan ke dua proses itulah ekosistem berkemampuan
untuk menjada fungsinya, dan merupakan karakteristika seluruh biosfer.
Nutrisi yang diperlukan untuk
menghasilkan materi organik disirkulasikan ke seluruh ekosistem dan dapat
dimanfaatkan berkali-kali. Apabila tumbuhan dan juga hewan mati akan
didekomposisikan oleh kegiatan bakteria dan jamur, nutrisi kemudian
dikembalikan ke lingkungan abiotik membentuk kumpulan nutrisi sebagai gudang
atau reservoir. Dalam ekosistem daratan nutrisi biasanya dilepaskan dan
berkumpul dalam tanah, yang kemudian nutrisi-nutrisi ini akan diambil kembali
oleh tumbuhan dari gudangnya ini.
Dengan proses siklus materi ini
komponen-komponen organik dan anorganik dipautkan satu sama lain sedemikian
rupa sehingga sulit dipisahkan satu sama lainnya.
Tumbuhan merupakan komponen yang
sangat penting, dalam proses aliran energi dan siklus materi, sehingga
terjadinya keterpautan antara komponen biotik dengan komponen abiotik dalam
ekosistem. Ada dua hal yang termasuk ke dalam siklus materi, yaitu :
. aKepentingan
Nutrisi dalam Ekosistem
Makhluk hidup memerlukan minimal 30
sampai 40 unsur kimia, dari sekitar 92 unsur-unsur kimia yang diketahui, untuk
keperluan hidup dan pertumbuhannya. Nutrisi juga dikenal sebagai garam-garam
biogenik yang dapat dikelompokkan dalam dua kelompok utama, yaitu nutrisi makro
dan nutrisi mikro.
·
Nutrisi makro
Nutrisi ini
diperlukan relatif dalam jumlah yang banyak, dan mempunyai peranan kunci dalam
pembentukan protoplasma makhluk hidup. Nutrisi-nutrisi penting yang termasuk
kelompok ini adalah hidrogen, karbon, oksigen dan nitrogen. Mereka bersama-sama
membentuk sekitar 95 % dari berat kering materi hidup. Keempat nutrisi ini
didapatkan dari bentuk gas di atmosfir. Nutrisi lainnya yang termasuk nutrisi
makro ini, yang diperlukan dalam jumlah yang relatif lebih sedikit diantaranya
adalah kalium, posfor dan sulfur.
·
Nutrisi mikro
Nutrisi ini
diperlukan dalam jumlah yang jauh lebih sedikit, tetapi sangat penting untuk
kehidupan. Minimal ada sepuluh nutrisi mikro yang diperlukan oleh tumbuhan.
Beberapa nutrisi mikro seperti besi, tembaga, seng, karbon, dan boron, berasal
dari batuan yang terlepas akibat proses penghawaan.
a.
Siklus Biogeokimia
Telah dipahami bahwa berfungsinya
ekosistem tergantung pada sirkulasi dan nutrisi. Apabila nutrisi tidak
tersirkulasikan, maka suplai yang telah terjadi akan sia-sia dan pertumbuhan
menjadi terbatas. Begitu pentingnya permasalahan ini, beberapa penelitian telah
dilakukan untuk menentukan jalannya siklus nutrisi ini.
Berbeda dengan energi, materi kimia
yang berupa unsur-unsur penyusun bahan organik/nutrisi dalam ekosistem,
berpindah ke trofik-trofik rantai makanan tanpa mengalami pengurangan,
melainkan berpindah kembali ke tempat semula. Unsur-unsur tersebut masuk ke
dalam komponen biotik melalui udara, tanah atau air. Perpindahan unsur
kimia dalam ekosistem melalui daur ulang yang melibatkan komponen biotik dan
abiotik ini dikenal dengan sebutan daur biogeokimia. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara komponen biotik dengan abiotik dalam suatu ekosistem. Siklus
biogeokimia meliputi : siklus air, siklus sulfur, siklus pospor, siklus
nitrogen, Siklus karbon dan oksigen.
·
Siklus air
Jika
hujan turun, tidak semua air hujan itu dimanfaatkan oleh makhluk hidup karena
sebagian airnya menguap dengan cepat ke atmosfer dan hanya sebagian yang
dimanfaatkan oleh makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan, dan manusia kemudian
dilepaskan lagi ke atmosfer melalui pernapasan, keringat, dan urin. Selebihnya,
air meresap ke bawah menuju lapisan air di dalam tanah serta yang di permukaan
tanah mengalir ke danau, sungai, dan pada akhirnya menuju ke laut lalu menguap
ke atmosfer. Perputaran air dari atmosfer berupa air hujan turun ke bumi
kemudian kembali lagi ke atmosfer merupakan daur air (Zaif, 2010).
·
Siklus sulfur
(Belerang)
Sulfur merupakan bahan penting untuk pembuatan
semua protein dan banyak terdapat di kerak bumi. Tumbuhan mengambil sulfur
dalam bentuk SO4- dari tanah, sedangkan hewan dan manusia
mendapatkannya dari tumbuhan yang mereka makan. Perhatikan skema daur sulfur di
samping ini.
·
Siklus fosfor
Fosfor
merupakan unsur kimia yang jarang terdapat di alam dan merupakan faktor
pembatas produktivitas ekosistem, serta merupakan unsur yang penting untuk
pembentukan asam nukleat, protein, ATP dan senyawa organik vital lainnya.
Fosfor satu-satunya daur zat yang tidak berupa gas, sehingga daurnya tidak
melalui udara. Sebagian besar fosfor mengalir ke laut dan terikat pada endapan
di perairan atau dasar laut. Begitu sampai di laut hanya ada dua mekanisme
untuk daur ulangnya ke ekosistem darat, salah satunya melalui burung-burung
laut yang mengambil fosfor melalui rantai makanan laut dan mengembalikan ke
darat melalui kotorannya kemudian masuk ke rantai makanan. Perhatikan skema
daur fosfor di samping ini.Di alam, fosfor terdapat dalam dua
bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa
fosfat anorganik (pada air dan tanah).
Fosfat
organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai)
menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air
laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat
banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis
dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik
ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus
menerus (Zaif, 2010).
·
Siklus Nitrogen
Semua
organisme memerlukan unsur nitrogen untuk pembentukan protein dan berbagai
molekul organik esensial lainnya. Unsur nitrogen sebagian besar terdapat di
atmosfer dalam bentuk gas nitrogen (N2) dan kadarnya 78% dari semua
gas di atmosfer. Gas nitrogen ini di atmosfer masuk ke dalam tanah melalui
fiksasi nitrogen oleh bakteri (Rhizobium, Azotobacter, Clostridium), alga biru
(Anabaena, Nostoc) dan jamur (Mycorhiza) nitrogen yang masuk ke tanah melalui
fiksasi diubah menjadi amonia (NH3) oleh bakteri amonia. Proses
penguraian nitrogen menjadi amonia disebut amonifikasi. Nitrogen yang masuk ke
tanah bersama kilat dan air hujan berupa ion nitrat (NO3−),
sedangkan nitrogen yang ada di dalam tubuh tumbuhan dan akan hewan melalui
proses mineralisasi oleh bakteri pengurai menjadi amonia. Amonia yang
dihasilkan melalui proses amonifikasi dan mineralisasi oleh bakteri nitrit
(nitrosomonas dan nitrosococcus) dirombak menjadi ion nitrit (NO2−),
selanjutnya ion nitrit dirombak bakteri nitrat (nitrobacter) menjadi ion nitrat
(NO3−). Perombakan amonia menjadi ion nitrit, ion nitrit
menjadi ion nitrat disebut nitrifikasi. Tumbuhan umumnya menyerap nitrogen
dalam bentuk ion nitrat, sedangkan hewan mengambil nitrogen dalam bentuk
senyawa organik (protein) yang terkandung pada tumbuhan dan hewan yang dimakan.
Sebagian ion nitrat dirombak oleh bakteri denitrifikasi (Thiobacillus
denitrificans, Pseudomonas denitrificans) menjadi nitrogen. Nitrogen yang
dihasilkan akan kembali ke atmosfer. Proses penguraian ion nitrat menjadi
nitrogen disebut denitrifikasi.
·
Siklus karbon dan
oksigen
Sumber
karbon bagi kebutuhan makhluk hidup terdapat dalam bentuk karbon dioksida(CO2)
yang berasal dari atmosfer maupun yang terlarut di dalam air. Karbon dibutuhkan
tumbuhan hijau (produsen) dalam proses fotosintesis untuk pembentukan
karbohidrat, protein, dan lemak. Adapun manusia dan hewan (konsumen) memperoleh
karbon dalam bentuk senyawa karbohidrat, protein, dan lemak yang terdapat dalam
tumbuhan hijau. Pelepasan karbon ke atmosfer terjadi pada pernapasan
(respirasi) makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Selain itu,
pelepasan karbon juga terjadi pada proses pembusukan sisa tumbuhan atau hewan
yang telah mati oleh mikroorganisme dan pembakaran karbon organik seperti
pembakaran minyak bumi dan batu bara (Zaif, 2010).
BAB 4
PERUBAHAN- PERUBAHAN
YANG TERJADI PADA EKOSISTEM SAWAH
4.1
Perubahan Ekosistem/Suksesi
Spurr (1964) menyatakan bahwa
suksesi merupakan proses yang terjadi terus menerus yang ditandai oleh
perubahan vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana proses ini terjadi.
Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana
suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat
vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda.
Shukla dan Chandel (1982) menyatakan
bahwa suksesi adalah suatu proses universal yang kompleks, mulai (awal)
berkembang dan akhirnya stabil pada tingkat klimaks. Lebih lanjut dikatakan
dimana suksesi pada umumnya progresif dan menghasilkan adanya perubahan habitat
dan bentuk kehidupan dalam pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya
Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa proses suksesi adalah
perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi
oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi
terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
Whittaker (1970) menyatakan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi berlangsung adalah
sebagai berikut :
a.
Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti
meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan
meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
b.
Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan dan
perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
c.
Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur
komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat.
d.
Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang
sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
e.
Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh
populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang berumur
pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
f.
Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada awal
komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi
lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh
tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak
banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada
tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas,
yaitu :
a.
Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan
(invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor
yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada setiap
waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.
b.
Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di
lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai
hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap
lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk
perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai
tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum
selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa.
tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi.
Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit
pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
c.
Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang
akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh,
komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat
pada tahap akhir dari perkembangan.
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Prinsip dasar dalam proses suksesi
adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya)
bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen
(1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas
tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana
masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda.
Keanekaragaman jenis akan meningkat
dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada
akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di
dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk,
kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada
komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas
yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan
pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks
(Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Ewell (1980) menyatakan bahwa di
daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat
terjadi pada musim hujan, tetapi proses ini sebagian juga terjadi pada musim
kemarau. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang
selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai
strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang
mantap. Di samping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang
nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur
menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka
lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non
tropis.
Suksesi sekunder alami merupakan
pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tumbuhan yang tumbuh sebelum
berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan, dan yang akan dapat menjadi tumbuhan
hutan. Berdasarkan ukurannya, suksesi sekunder alami dapat digolongkan menjadi
suksesi sekunder alami tingkat semai, pancang dan tiang. Tingkat semai adalah
suksesi yang tingginya sampai 1,5 meter, tingkat pancang berukuran lebih dari
1,5 meter dengan diameter 10 cm, dan tingkat tiang adalah pohon muda yang
berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993).
Akhir proses suksesi komunitas yaitu
terbentuknya suatu bentuk komunitas
klimaks. Komunitas klimaks adalah suatu komunitas terakhir dan stabil (tidak beruba h) yang mencapai
keseimbangan dengan ling kungannya. Komunitas klimaks ditandai dengan
tercapainya homeostatis atau keseimbangan, yaitu suatu komunitas yang mampu
mempertahankan kestabilan komponennya dan dapat bertahan dan berbagai perubahan
dalam sistem secara keseluruhan.
Interaksi yang
dinamis namun harmonis antara mahluk hidup dan lingkungannya akan membentuk
suatu tatanan ekosistem yang seimbang.
Kondisi ini akan berujung pada keselarasan hidup semua organisme di bumi.
Komponen abiotik dan juga biotik yang menjadi dua unsur penting dalam tatanan
ekosistem saling terkait satu sama lainnya. Keterkaitan ini menjadikan
interaksi di antara mereka tak bisa dipisahkan. Namun, keseimbangan tersebut
akan bermuara pada kerusakan ekosistem dimana lingkungan bukan lagi tempat yang
nyaman bagi organisme tersebut untuk tinggal dan hidup. Kerusakan ekosistem ini bisa disebabkan oleh beberapa
faktor penyebab.
4.1.1 Faktor
Alamiah
Faktor alamiah merupakan penyebab kerusakan
ekosistem yang terjadi murni karena alam. Misalnya saja gempa bumi,
terjadinya kebakaran akibat cuaca, bajir, longsor, dan masih banyak lagi
lainnya. Sederet peristiwa tersebut memicu terjadinya perubahan ekosistem
misalnya saja saat Gunung Marapi di wilahyah Sumatera Barat meletus, maka
kerusakan ekosistem di sekitar Marapi tak bisa dihindarkan. Mahluk hidup baik
itu hewan dan tumbuhan bahkan manusia bisa mati. Hal tersebut sama saja dengan
peristiwa semacam gempa dan banjir, akan berakibat pada terganggunya kestabilan
ekosistem. Sebagai sebuah kesatuan, maka jika dalam sebuah ekosistem terdapat 1
organisme yang mati maka akan berpengaruh pada keadaan organisme lainnya.
4.1.2 Faktor
Manusia
Faktor penyebab terjadinya kerusakan ekosistem
lainnya disebabkan oleh berbagai aktifitas manusia. Manusia sebagai salah satu
organisme atau mahluk hidup dalam sebuah ekosistem tentu memerlukan kehadiran
organisme lainnya. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut maka manusia melakukan
sejumlah kegiatan yang justru berperan dalam kerusakan lingkungan di
sekitarnya.
Kerusakan ekosistem merupakan kabar yang sangat buruk bagi
semua mahluk hidup sebab mereka seperti mata rantai yang saling membutuhkan
satu sama lainnya. Misalnya saja berkurangnya pohon akan membuat sejumlah hewan
kehilangan rumahnya, akan membuat kualitas udara semakin buruk, akan memicu
terjadinya bencana alam semacam banjir dan juga longsor. Berbeda dengan faktor alamiah, faktor manusia ini bisa
dihindari dengan pola prilaku yang lebih cermat dan bersahabat dengan alam tentunya.
Tekanan pada
ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan
kepadatan jumlah penduduk. Jumlah penduduk di Indonesia diproyeksikan pada
tahun 2020 akan mencapai 262 juta jiwa, sehingga sektor pertanian dipacu
meningkatkan produksi dan produktivitas berbagai komoditi pertanian (pangan,
holtikulutura, perkebunan, dan lain-lainnya) baik melalui program intensifikasi
maupun ekstentifikasi.
Degradasi lahan
ditandai oleh penurunan atau kehilangan produktivitas lahan, baik secara fisik,
kimia, dan biologi maupun ekonomi. Degradasi lahan diakibatkan oleh kesalahan
dalam pengelolaan dan penggunaan lahan. Pengelolaan dan penggunaan lahan
meliputi pembukaan lahan (land clearing), penebangan hutan (deforestation),
konversi untuk nonpertanian, dan irigasi. Kesalahan dalam pengelolaan dan
penggunaan lahan akan menimbulkan polusi, erosi, kehilangan unsur hara,
pemasaman, penggaraman (salinization), sodifikasi dan alkalinasi (sodification
and alkalinization), pemadatan (compaction), hilangnya bahan
organik, penurunan permukaan, kerusakan struktur tanah, penggurunan (desertification),
dan kehilangan vegetasi alami dalam jangka panjang (Agus 2002).
Memburuknya
kondisi lahan menyebabkan masyarakat yang tinggal di kawasan yang mengalami
degradasi menghadapi berbagai ancaman seperti kekurangan sumber air, kelaparan,
dan munculnya berbagai penyakit. Selain itu, degradasi lahan secara global akan
mengancam kelestarian keanekaragaman hayati dan menaikkan suhu permukaan bumi.
Pada tahun 1992, Departemen Pertanian mencatat lebih dari 18 juta ha lahan di
Indonesia telah terdegradasi, meliputi 7,50 juta ha lahan potensial kritis, 6
juta ha lahan semikritis, dan 4,90 juta ha lahan kritis. Sementara itu
Departemen Kehutanan mencatat 13,20 juta ha lahan yang terdegradasi, 5,90 juta
ha terdapat di dalam kawasan hutan dan 7,30 juta ha di luar kawasan hutan.
Badan Pusat Statistik (2002) bahkan mencatat luas lahan yang terdegradasi
mencapai 38,60 juta ha.
Perbedaan data
ini terjadi karena cerita yang digunakan untuk mendelineasi lahan tidak sama
antara ketiga institusi tersebut. Selain itu, penelitian Badan Litbang
Pertanian bekerja sama dengan IRRI menyimpulkan bahwa banyak lahan sawah
intensif terutama di Jawa mengalami degradasi kesuburan (kimiawi) terutama
penurunan kandungan organik, atau kadang disebut sebagai lahan sakit (soil
sickness). Hal ini merupakan tantangan dalam menetapkan kriteria baku lahan
terdegradasi sehingga dapat digunakan secara nasional dan perbedaan data yang
mencolok dapat dihindarkan.
4.2
Perubahan Terhadap Lahan Pertanian
Penggunaan lahan
diatas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan perbaikan
kondisi lahan akan menyebabkan degradasi lahan. Lahan di daerah hulu dengan
lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi
menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan
atau tanah longsor. Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen
(hutan) menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah
terdegradasi oleh erosi tanah. Praktek penebangan dan perusakan hutan
(deforesterisasi) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah
aliran sungai (DAS).
Penurunan
produktivitas usaha tani secara langsung akan diikuti oleh penurunan pendapatan
petani dan kesejahteraan petani. Disamping menyebabkan ketidak-berlanjutan
usaha tani di wilayah hulu, kegiatan usaha tani tersebut juga menyebabkan
kerusakan sumber daya lahan dan lingkungan di wilayah hilir, yang akan
menyebabkan ketidak-berlanjutan beberapa kegiatan usaha ekonomi produktif di
wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan sedimen, kerusakan sarana irigasi,
bahaya banjir dimusim penghujan dan kekeringan dimusim kemarau.
Tingkat
pencemaran dan kerusakan lingkungan di lingkungan pertanian dapat disebabkan
karena penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak proporsional.
Dampak negatif dari penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air,
tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunnya
keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk
kimia dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam. Penggunaan pestisida
yang berlebih dalam kurun yang panjang, akan berdampak pada kehidupan dan
keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan
biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi
biota tanah.
Penggunaan pupuk
kimia yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi dalam kurun waktu
yang panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan kesuburan tanah karena terjadi
ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin merosotnya kandungan
bahan organik tanah.
Penanaman
varietas padi unggul secara monokultur tanpa adanya pergiliran tanaman, akan
mempercepat terjadinya pengurasan hara sejenis dalam jumlah tinggi dalam kurun
waktu yang pendek. Hal ini kalau dibiarkan terus menerus tidak menutup
kemungkinan terjadinya defisiensi atau kekurangan unsur hara tertentu dalam
tanah.
Akibat dari
ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada penyusutan kandungan
bahan organik tanah. Sistem pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan)
jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2%. Bahan organik tanah disamping
memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur
tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika penambahan bahan organik
tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburan fisiknya akan semakin menurun.
4.3
Penanggulangan
Dalam praktek
budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan.
Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada
sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan
pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusialah yang berpotensi berdampak
positif atau negatif pada lahan, tergantung cara menjalankan pertaniannya.
Apabila dalam menjalankan pertaniannya benar maka akan berdampak positif, namun
apabila cara menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif.
Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan
dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana
produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem
budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan.
Konsep pertanian
berkelanjutan untuk mengembalikan ke ekosistem alami haruslah menjamin kualitas
lahan kita tetap produktif dengan menerapkan upaya konservasi dan rehabilitasi
terhadap degradasi. Kebijakan pembangunan pertanian dewasa ini lebih banyak
terfokus kepada usaha yang mendatangkan keuntungan ekonomi jangka pendek dan
mengabaikan multifungsi yang berorientasi pada keuntungan jangka panjang dan
keberlanjutan (sustainabilitas) sistem usaha tani. Pertanian berkelanjutan,
suatu bentuk yang memang harus dikembangkan jika kita ingin menjadi pewaris yang
baik yang tidak semata memikirkan kebutuhan sendiri tetapi berpandangan
visioner ke depan. Pembangunan pertanian berkelanjutan menyiratkan perlunya
pemenuhan kebutuhan (aspek ekonomi), keadilan antar generasi (aspek sosial) dan
pelestarian daya dukung lingkungan/lahan (aspek lingkungan).
Sehingga harus
ada keselarasan antara pemenuhan kebutuhan dan pelestarian sumberdaya lahannya.
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan masa lalu belumlah sepenuhnya
menggunakan tiga aspek pembangunan yang berkelanjutan secara seimbang, sehingga
masih banyak keluarga yang tergolong miskin, dan terjadi degradasi lahan
sehingga mengganggu keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial.
Berbagai praktek
explorasi lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahannya hendaklah dihindari.
Penggunaan lahan diatas daya dukung lahan haruslah disertai dengan upaya
konservasi yang benar-benar. Oleh karena itu, untuk menjamin keberlajutan
pengusahaan lahan, dapat dilakukan upaya strategis dalam menghindari degradasi
lahan melaui: (1) Penerapan pola usaha tani konservasi seperti agroforestry,
tumpang sari, dan pertanian terpadu; (2) Penerapan pola pertanian organik ramah
lingkungan dalam menjaga kesuburan tanah; dan (3) Penerapan konsep pengendalian
hama terpadu merupakan usaha-usaha yang harus kita lakukan untuk menjamin
keberlanjutan usaha pertanian kita dan jika kita ingin menjadi pewaris yang
baik.
Membawa atau
merubah ekosistem buatan ke ekosistem alami membutuhkan proses yang lama karena
melibatkan sifat dan mental dari petani yang bersangkutan. Pelaksanaan kegiatan
ini melibatkan tenaga-tenaga akademis sebagai mediator atau fasilitator dan
motivator dan didukung dengan konsep pertanian terintegrasi.
Sejalan dengan
perubahan yang telah dilakukan untuk mengembalikan lahan pertanian berbasis
organik untuk melestarikan salah satu pembentuk ekosisitem alami khususnya
musuh alami. Selain itu untuk mengembalikan tanah yang sudah dicemari oleh
kimia aktif yang residunya dapat merusak tanah sekaligus makhluk hidup dalam
tanah. Pertanian yang alami dan bebas dari pengaruh pestisida walaupun produk
pertanian tersebut di dapat dengan harga yang lebih mahal dari produk pertanian
yang menggunakan pestisida (Ton, 1991).
Walaupun
demikian abiotik sangat berpengaruh terhadap perubahan ekosistem salah satu
yang sangat berpengaruh yaitu ikilim yang sangat tidak tentu yang menyebabkan
terjadinya kurang seimbangnya pada lahan pertanian. Salah satu contohnya yaitu
hewan dan tumbuhan dapat bermigrasi untuk beradaptasi terhadap kenaikan
temperatur akibat perubahan iklim, kecepatan migrasi jenis berbeda-beda
sehingga di habitat yang baru terjadi perubahan komunitas hewan dan tumbuhan.
Pada umumnya kecepatan migrasi jenis tumbuhan lebih rendah daripada kecepatan
migrasi hewan. Dalam kasus ini bila tumbuhan tersebut merupakan makanan utama
jenis hewan yang bermigrasi maka hewan tersebut di habitat yang baru kurang
atau tidak mendapat makanan utama. Akibatnya akan berpengaruh terhadap
kehidupannya dan bila hewan tersebut tidak mampu beradaptasi dengan jenis
makanan yang tersedia di habitat yang baru, populasinya akan terhambat bahkan
akhirnya dapat punah.
Kita tidak sadar
bahwa organisme pada lahan pertanian sebagian besar adalah musuh alami bagi
hama, namun karena pemakian pestida itulah keanekaragaman musuh alami punah
pada lahan pertanian. Salah satu cara untuk meningkatkan musuh alami tersebut
dengan menggunakan pengendalian musuh alami dan dihilangkannya penggunaan
pestisida kimia dan beralih ke pestisida hayati atau organik.
Daftar Gambar
Jenis Gulma Berdaun Lebar
Gambar. Lugwigia hysofolia
Gambar. Gulma berdaun lebar 1
Gambar 3. Ludwigia perennis
Gambar 3. Ludwigia perennis
Gambar. Gulma berdaun
lebar 2
Gambar. Gulma berdaun
lebar 2
Gambar . Gulma berdaun lebar 3
Gambar . Gulma berdaun lebar 4
Gambar . Gulma berdaun lebar 5
Gambar . Gulma berdaun lebar 6
Gulma dari Golongan Rumput –
rumputan
Gambar.
Mimosa sp
Gulma dari
Golongan Teki – tekian
Gambar. Cyperus pilosus
Gambar. Gulma golongan teki – tekian 1
Gambar. Frimbistylis miliaceae
BAB
4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
·
Sawah adalah
lahan usaha pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh
pematang, serta dapat ditanami padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya.
Kebanyakan sawah digunakan untuk bercocok tanam padi. Untuk keperluan ini,
sawah harus mampu menyangga genangan air karena padi memerlukan penggenangan
pada periode tertentu dalam pertumbuhannya.
·
Ekosistem
adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan
kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang
saling mempengaruhi Pola interaksi organisme melibatkan
dua atau lebih organisme. Jenis, sifat dan tingkah laku organisme di bumi
sangat beraneka ragam. Karena itu, pola interaksi antarorganisme juga beragam.
4.2. Saran
Kami sebagai pemakala menyadari bahwa makalah yang telah kami buat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah kami yang selanjutnya.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar